Diskon hukuman Setya Novanto

Mahkamah Agung kembali pangkas hukuman Setya Novanto, memperkuat citra Indonesia sebagai surga impunitas korupsi.

Diskon hukuman Setya Novanto. © Bay Ismoyo/AFP/Getty Images
Mantan Ketua DPR Setya Novanto duduk di ruang sidang saat menjalani persidangan di Jakarta, Selasa (24/4/2018). © Bay Ismoyo/AFP/Getty Images

Ketika bangsa-bangsa lain berlomba menciptakan sistem hukum yang tajam dan adil, Indonesia dengan tenang menulis ulang definisi keadilan menjadi diskon, remisi, dan pembebasan bersyarat. Tidak percaya? Tengok saja episode terbaru sinetron pengampunan berjilid yang dibintangi tokoh langganan layar hukum Indonesia: Setya Novanto — atau panggil saja Setnov, sang kesayangan republik.

Melalui putusan Mahkamah Agung (MA) tertanggal 4 Juni 2025, Setya Novanto yang semula divonis 15 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi proyek KTP Elektronik senilai Rp2,3 triliun, kini hanya perlu menjalani 12,5 tahun hukuman saja. Diskon itu diberikan bak promo ulang tahun oleh majelis hakim Surya Jaya, Sinintha Yuliansih Sibarani, dan Sigid Triyono. Seolah mereka bukan sedang mengadili pelaku kejahatan luar biasa, tetapi memberikan potongan harga untuk pelanggan setia.

Setya Novanto bukan hanya mendapatkan pengurangan masa hukuman, tapi juga potongan hak politik. Dari lima tahun masa larangan berpolitik setelah bebas, kini cukup 2,5 tahun saja. Dengan kata lain, ia bisa saja mendaftar kembali ke panggung politik menjelang Pemilu 2029, asalkan rencana ‘diskon bertahap’ tetap berjalan lancar.

Publik boleh saja menenangkan diri dengan berkata, “Tenang, Setnov baru bisa bebas 2029.” Tapi semua orang tahu: di negeri ini, tak ada remisi yang tidak bisa dinegosiasikan. Dari 2023 hingga 2024, ia rutin mendapatkan remisi setiap Idul Fitri dan Hari Kemerdekaan. Bahkan, pada HUT RI ke-78, Setnov mendapatkan potongan tiga bulan langsung—lebih besar dari diskon flash sale aplikasi belanja.

Menariknya, diskon ini diberikan meskipun Setnov belum melunasi kewajibannya membayar denda dan uang pengganti kerugian negara. Masih ada Rp49 miliar yang menguap di balik narasi “sedang dicicil.” Tapi rupanya, di Indonesia, pembayaran kewajiban hanyalah detail kecil yang bisa diabaikan demi semangat rekonsiliasi nasional.

Bagaimana mungkin terpidana korupsi mendapat pemotongan hukuman tanpa melunasi kewajibannya? Jawabannya sederhana: karena bisa. Karena di negara ini, hukum terhadap koruptor lebih fleksibel dari karet gelang bekas.

Melalui kasus ini, kita bisa membayangkan masa depan yang cemerlang bagi para koruptor. Mereka cukup menjalani hukuman singkat, mendapatkan panggung media untuk klarifikasi, lalu kembali ke partai politik sebagai “orang lama yang sudah tobat.” Narasi penebusan dosa akan menggantikan rasa bersalah, dan gelar “mantan narapidana korupsi” akan menjadi modal elektabilitas baru.

Masyarakat mungkin masih bergeming. Tapi elite terus bermain. Dalam sistem peradilan yang memperlakukan korupsi seperti kesalahan administratif, kita tak lagi bisa berharap keadilan. Kita hanya bisa berharap bahwa memori kolektif masyarakat belum benar-benar rusak.

Setnov adalah sosok simbolik: ia adalah wajah dari sistem yang membusuk tapi tetap berdandan meyakinkan. Dalam satu dekade terakhir, namanya hadir dalam berbagai meme, ejekan publik, dan headline berita hukum. Tapi semua itu tidak menggerus posisinya sebagai penerima keistimewaan sistemik.

Dari kursi DPR, rumah sakit, hingga Lapas Sukamiskin, Setnov menunjukkan keahlian berakrobat dalam sistem hukum yang lunak terhadap mereka yang tahu caranya menyikut. Kini, ia tidak hanya lolos dari vonis maksimal, tapi juga berpeluang kembali ke panggung kekuasaan.

Ketika warga negara berteriak agar remisi untuk koruptor dihapus, Mahkamah Agung justru membuka keran diskon semakin lebar. Di hadapan para koruptor, MA terlihat seperti manajer promosi, bukan institusi pengadil tertinggi. Tak heran, publik menyebut MA sebagai “agen diskon nasional” bagi terpidana kelas kakap.

Padahal Presiden Prabowo telah bersumpah akan mengejar koruptor sampai ke Antartika. Tapi apa gunanya mengejar sampai kutub selatan jika ketika ditangkap, mereka justru disambut dengan permadani merah oleh pengadilan?

Putusan MA terhadap Setnov bukan hanya keputusan hukum; ia adalah deklarasi bahwa di Indonesia, korupsi bukan lagi kejahatan luar biasa — tetapi karier dengan prospek rekreasi.

Jika lembaga negara tak mampu menunjukkan nyali terhadap korupsi, maka tugas menjaga integritas bangsa jatuh kepada warga negara biasa. Kita harus membentuk sanksi sosial yang tajam, menolak melupakan, dan menolak mengizinkan para koruptor kembali ke ruang publik.

Setnov dan para koruptor sejenisnya hanya akan benar-benar merasa dihukum bila masyarakat tidak lagi memberi mereka panggung. Jangan beri tepuk tangan pada pidato mereka. Jangan beri suara di kotak pemilu. Jangan beri tempat di televisi atau seminar.

Sanksi sosial adalah senjata terakhir yang belum dirampas.

Setya Novanto adalah gejala dari penyakit kronis yang menghinggapi sistem hukum kita. Penyakit yang membuat kejahatan besar dianggap laku kecil, dan keadilan disamakan dengan formalitas teknis. Bila kita terus menyaksikan, mencatat, lalu melupakan, maka bangsa ini hanya akan menjadi museum dari kesalahan yang berulang-ulang.

Mahkamah Agung boleh berkilah dengan dalil hukum. Politikus bisa beretorika soal rehabilitasi. Tapi warga negara tahu bahwa remisi tanpa pemulihan kerugian negara adalah kejahatan yang dilegalkan.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar