Kebebasan berbicara John Milton

Gagasan kebebasan berbicara John Milton dalam Areopagitica membentuk dasar filosofi demokrasi modern dan hukum kebebasan berbicara di seluruh dunia.

Kebebasan berbicara John Milton. © Sergey/Shutterstock
Pembungkaman. © Sergey/Shutterstock

Kebebasan berbicara John Milton tidak lahir dalam ruang hampa. Ia berkembang dalam pergolakan sejarah Inggris pada abad ke-17, ketika kerajaan, parlemen, dan lembaga keagamaan saling berebut kekuasaan. Di tengah sistem sensor ketat yang diterapkan oleh negara dan lembaga keagamaan, Milton tampil sebagai salah satu pemikir paling vokal yang menentang pembatasan terhadap pemikiran dan tulisan.

Saat itu, semua penerbitan di Inggris harus mendapatkan lisensi resmi dari pemerintah melalui sistem pre-publication censorship yang dikenal sebagai Licensing Order of 1643. Kebijakan ini membuat banyak karya ditolak terbit atau disita karena dianggap menyimpang dari norma atau membahayakan stabilitas negara. Inilah konteks historis ketika Milton menulis karya terkenalnya, Areopagitica, pada 1644—sebuah seruan untuk mencabut lisensi penerbitan dan membela hak individu untuk menyampaikan pendapat secara bebas.

Dalam Areopagitica, Milton menyampaikan argumen moral, filosofis, dan historis melawan sistem sensor. Ia tidak hanya mengecam kebijakan negara, tetapi juga memperjuangkan prinsip kebebasan berpikir sebagai hak kodrati setiap manusia. Ia menulis dengan tajam dan sangat mendalam.

Milton menyatakan bahwa kebenaran dan kesesatan harus dibiarkan bersaing dalam arena wacana publik. Menurutnya, kebenaran tidak perlu dilindungi dari kebohongan; justru dalam pertarungan bebas, kebenaran akan keluar sebagai pemenang. Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.

Salah satu kutipan terkenalnya berbunyi:
“Let truth and falsehood grapple; who ever knew truth put to the worse, in a free and open encounter?”

Dalam kutipan ini, terlihat bagaimana Milton percaya bahwa akal manusia mampu menyaring informasi secara mandiri, tanpa perlu diintervensi oleh negara atau otoritas agama.

Kebebasan berbicara John Milton tidak hanya berakar pada pemikiran rasional, tetapi juga pada landasan keimanan. Sebagai seorang yang taat beragama, ia percaya bahwa Tuhan memberikan akal kepada manusia agar mereka bisa berpikir dan membuat pilihan secara bebas. Karena itu, menghalangi seseorang untuk menyampaikan pikirannya sama saja dengan menolak kehendak Tuhan.

Milton menekankan bahwa tidak ada yang lebih berbahaya bagi jiwa manusia selain pembatasan atas ide dan informasi. Negara yang menyensor adalah negara yang mencabut kemampuan warganya untuk tumbuh secara moral dan spiritual. Dengan kata lain, pembatasan terhadap kebebasan berpikir bukan hanya pelanggaran politik, tetapi juga penghinaan terhadap martabat manusia.

Salah satu titik sentral pemikiran John Milton tentang kebebasan berbicara adalah kritik kerasnya terhadap sistem sensor yang diberlakukan oleh negara. Ia membandingkan sistem lisensi di Inggris dengan praktik otoriter di Spanyol dan Italia, di mana lembaga-lembaga Inkuisisi menyaring semua penerbitan.

Menurut Milton, sistem sensor menghasilkan ketakutan, stagnasi intelektual, dan penindasan. Ia menolak logika bahwa masyarakat harus “dilindungi” dari ide-ide berbahaya. Bagi Milton, justru kebebasan untuk mengeksplorasi ide-ide yang sulit dan menantang adalah jalan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran.

Milton juga menyatakan bahwa menyensor sebuah karya sebelum terbit sama saja dengan menganggap penulisnya bersalah sebelum terbukti. Ini bertentangan dengan prinsip dasar keadilan. Dalam hal ini, ia mendahului prinsip hukum modern yang menyatakan bahwa seseorang tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya.

Gagasan kebebasan berbicara John Milton memberi fondasi penting bagi pemikiran liberal di Barat. Pemikir-pemikir seperti John Locke, Thomas Jefferson, hingga Voltaire terinspirasi oleh Milton dalam merumuskan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan.

Bahkan dalam Konstitusi Amerika Serikat, gagasan Milton diadopsi dalam Amandemen Pertama yang menjamin kebebasan berbicara dan kebebasan pers. Tanpa Areopagitica, kemungkinan besar perjuangan untuk menjamin hak-hak sipil dan kebebasan politik akan mengalami hambatan lebih besar.

Di dunia hukum internasional, prinsip-prinsip yang dirintis Milton kini tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), khususnya Pasal 19 yang menjamin setiap orang berhak atas kebebasan opini dan berekspresi.

Walaupun pemikiran John Milton lahir pada abad ke-17, nilai-nilainya tetap relevan dalam menghadapi tantangan abad ke-21. Di era digital, sensor hadir dalam bentuk baru: algoritma media sosial, sensor pemerintah terhadap internet, hingga pembatasan ruang ekspresi atas nama keamanan nasional.

Dalam konteks ini, kebebasan berbicara John Milton kembali menjadi pedoman. Ia mengingatkan kita bahwa kekuatan untuk menilai dan memilih harus tetap berada di tangan individu, bukan institusi negara yang mengklaim mengetahui kebenaran lebih baik dari rakyatnya. Institusi negara tidak boleh menjadi penentu kebenaran.

Milton juga menantang kita untuk tidak menjadi pasif dalam menghadapi arus informasi. Ia mendorong masyarakat untuk aktif membaca, berpikir, dan berdiskusi, bukan sekadar menerima dan menyebarkan. Di tengah banjir informasi dan disinformasi hari ini, pesan ini sangat mendesak.

Di banyak negara, termasuk Indonesia, kebebasan berbicara masih mengalami tantangan. Banyak individu dituntut karena menyampaikan kritik terhadap pemerintah atau menyuarakan pendapat di media sosial. Undang-undang yang kabur seperti UU ITE kerap digunakan untuk membungkam suara kritis.

Dalam konteks ini, pemikiran John Milton sangat relevan. Ia percaya bahwa masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang memberi ruang bagi perbedaan, kritik, dan debat. Tanpa itu, negara hanya akan dipenuhi oleh kepatuhan palsu dan stagnasi sosial.

Milton menekankan bahwa negara tidak boleh takut pada perbedaan pendapat. Justru negara yang kuat adalah negara yang berani mendengarkan dan membuka diri terhadap kritik. Ia percaya bahwa kebebasan berbicara adalah fondasi utama bagi pemerintahan yang adil dan bertanggung jawab.

Di Indonesia dan berbagai negara berkembang yang masih menghadapi dilema antara stabilitas politik dan hak sipil. Banyak negara memberlakukan undang-undang yang membatasi kritik terhadap pemerintah, dengan dalih menjaga ketertiban atau mencegah hoaks.

Namun, seperti yang telah diungkapkan Milton berabad-abad lalu, upaya membungkam perbedaan pendapat tidak menciptakan kestabilan sejati. Sebaliknya, itu hanya menumpuk ketidakpuasan dan menghalangi dialog publik yang sehat.

Indonesia, sebagai negara (yang katanya) demokrasi, membutuhkan ruang yang luas untuk ekspresi publik, baik di media massa, dunia akademik, maupun media sosial. Dalam hal ini, prinsip-prinsip yang digagas oleh John Milton dapat menjadi pengingat bahwa demokrasi hanya bisa tumbuh jika rakyat diberi kepercayaan untuk berpikir dan berbicara secara bebas.

Lebih dari sekadar penyair atau intelektual, John Milton adalah pejuang kebebasan yang membela hak paling dasar manusia: hak untuk berpikir, berbicara, dan menerbitkan ide. Ia menolak sensor dengan penuh keyakinan dan keberanian, dan meyakini bahwa dalam pertarungan terbuka antara gagasan, kebenaran akan selalu menang.

Warisan pemikirannya terus hidup dalam hukum, institusi, dan nilai-nilai demokrasi modern. Namun, warisan ini juga memanggil kita untuk tetap waspada terhadap segala bentuk pembatasan kebebasan berbicara, baik dari negara, korporasi, maupun masyarakat itu sendiri.

Di era ketika ekspresi bisa dibungkam hanya dengan satu laporan, satu sensor algoritmik, atau satu undang-undang yang kabur, suara John Milton tetap menjadi mercusuar: kebebasan berbicara bukanlah ancaman—ia adalah fondasi peradaban yang adil dan tercerahkan.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar