DPRD di ambang krisis konstitusional

Putusan Mahkamah Konstitusi soal pemisahan pemilu memicu dilema konstitusional terkait masa jabatan anggota DPRD.

DPRD di ambang krisis konstitusional. © Muhammad Adimaja/Antara
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra (tengah) memimpin jalannya sidang bersama Anggota Majelis Hakim MK Daniel Yusmic Foekh (kiri), Arief Hidayat (kedua kiri), Enny Nurbaningsih (kedua kanan), dan Arsul Sani (kanan) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (24/6/2025). © Muhammad Adimaja/Antara

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan jadwal antara pemilu nasional dan pemilu lokal telah memunculkan wacana perpanjangan masa jabatan DPRD. Dalam sidang yang digelar Kamis, 26 Juni 2025, MK menyatakan pemilu nasional—yang meliputi pemilihan presiden, wakil presiden, DPR, dan DPD—tidak boleh lagi digabung dengan pemilu lokal seperti DPRD provinsi, kabupaten, kota, dan kepala daerah. MK menyebutkan bahwa pemilu lokal harus diselenggarakan paling singkat dua tahun atau paling lama dua setengah tahun setelah pemilu nasional.

Putusan ini menggugurkan skema “Pemilu 5 kotak” yang selama ini diterapkan, sekaligus mengharuskan adanya penyesuaian dalam penyelenggaraan pemilu mendatang, khususnya Pemilu 2029. Di satu sisi, keputusan MK ini bertujuan menata ulang struktur dan efektivitas pemilu. Namun di sisi lain, keputusan tersebut justru menghadirkan permasalahan baru, terutama dalam hal masa jabatan DPRD.

Beberapa pihak menyambut positif keputusan MK tersebut. Salah satunya adalah Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid. Ia mengklaim bahwa kader PKB di daerah merasa senang dengan putusan MK karena membuka peluang perpanjangan masa jabatan DPRD selama dua tahun. Mereka bahkan telah meminta fraksi PKB di DPR untuk mengakomodasi usulan tersebut dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu.

“Senang semua karena dapat perpanjangan masa jabatan,” ujar Jazilul dalam diskusi publik ‘Proyeksi Desain Pemilu Pasca Putusan MK’ di Gedung DPR, Jumat, 4 Juli 2025.

Pernyataan Jazilul menguatkan wacana bahwa para politisi di daerah lebih memikirkan kenyamanan kekuasaan ketimbang mempertanyakan implikasi konstitusionalnya. Ini menjadi ironi, karena pengaturan masa jabatan bukan sekadar teknis administratif, melainkan merupakan amanah dari konstitusi yang tidak bisa diubah sesuka hati.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri membuka kemungkinan adanya perpanjangan masa jabatan DPRD. Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU, Idham Holik, menyatakan bahwa merujuk pada Pasal 102 ayat (4) dan Pasal 155 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah, masa jabatan DPRD bisa diperpanjang karena berakhir setelah pelantikan anggota baru. Ini memberikan celah hukum untuk menyesuaikan dengan jadwal pemilu lokal yang baru.

Namun, organisasi masyarakat sipil yang aktif dalam advokasi demokrasi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengingatkan bahwa putusan MK berpotensi menciptakan kekosongan jabatan. Heroik Mutaqin Pratama, peneliti senior Perludem, menilai bahwa anggota DPRD yang mestinya habis masa jabatannya di 2029 bisa mengalami kekosongan jabatan karena pemilu lokal baru digelar pada 2031. Kondisi serupa juga terjadi pada kepala daerah yang masa jabatannya selesai pada 2030.

Heroik menjelaskan bahwa jabatan kepala daerah bisa diisi oleh penjabat sementara, tapi hal serupa tidak bisa diterapkan untuk DPRD. Oleh karena itu, ia mengusulkan perpanjangan masa jabatan DPRD selama dua tahun dan kepala daerah selama satu tahun.

Namun, suara berbeda datang dari Komisi Kajian Ketatanegaraan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketua K3 MPR, Taufik Basari, dengan tegas menolak opsi perpanjangan masa jabatan DPRD. Ia mengingatkan bahwa konstitusi sudah mengatur pemilu legislatif harus dilakukan setiap lima tahun sekali. Dalam Pasal 22E Ayat 1 dan 2 UUD 1945, termaktub bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun untuk memilih anggota DPR dan DPRD.

“Anggota DPRD itu dipilih melalui pemilu, tidak bisa diperpanjang begitu saja,” kata Taufik dalam rapat dengan Komisi III DPR, Jumat, 4 Juli 2025.

Jika jabatan DPRD dibiarkan kosong karena menunggu pemilu lokal dua tahun kemudian, maka menurut Taufik, itu akan melanggar Pasal 18 Ayat 2 dan 3 UUD 1945 yang mewajibkan daerah memiliki DPRD sebagai bagian dari penyelenggaraan pemerintahan. Ia pun menyebut kondisi ini bisa memicu constitutional deadlock—kebuntuan konstitusional—karena tidak ada jalan keluar yang sah secara hukum.

Taufik juga mengkritik MK karena telah bertindak sebagai positive legislator, yaitu pembentuk hukum yang seharusnya menjadi kewenangan DPR. Dalam pandangannya, MK seharusnya hanya menjadi negative legislator, yakni menyatakan suatu norma bertentangan dengan konstitusi atau tidak, tanpa membuat aturan baru.

Putusan Mahkamah Konstitusi sejatinya dimaksudkan untuk menyederhanakan proses pemilu yang selama ini dianggap terlalu kompleks. Dalam praktiknya, Pemilu 5 kotak membuat pemilih dan penyelenggara kesulitan karena dalam satu hari harus memilih lima jenis perwakilan dengan sistem yang berbeda-beda. MK menilai pemisahan waktu antara pemilu nasional dan lokal dapat meningkatkan kualitas pemilu itu sendiri.

Namun, implementasi putusan tersebut terbukti tidak sesederhana yang dibayangkan. Ketika waktu penyelenggaraan pemilu lokal diubah, maka secara otomatis berdampak pada masa jabatan pejabat publik hasil pemilu 2024. Celah hukum dalam UU Pemerintahan Daerah yang disebutkan oleh KPU tidak serta-merta sah secara konstitusi. Bahkan jika memungkinkan secara legal, opsi perpanjangan jabatan tetap membuka pertanyaan etik dan moral dalam demokrasi.

Apalagi, antusiasme para kader partai untuk mendapatkan dua tahun kekuasaan ekstra tanpa mandat pemilu justru menunjukkan wajah buruk dari praktik politik kita. Mereka menyambut perpanjangan jabatan seolah-olah itu adalah hadiah, bukan anomali demokrasi.

Dalam situasi ini, pemerintah dan DPR memiliki tugas berat untuk mencari jalan keluar konstitusional yang tidak menabrak UUD 1945. Opsi seperti pelaksanaan pemilu lokal pada 2029 meski dipisah pelantikannya, atau mempercepat pelaksanaan pemilu lokal sebelum 2029, perlu dipertimbangkan. Alternatif lain, seperti menyusun undang-undang transisi jabatan, juga menjadi penting untuk menghindari vacuum of power tanpa harus memperpanjang masa jabatan secara otomatis.

Yang jelas, masa jabatan DPRD tidak bisa diperpanjang tanpa dasar konstitusional yang kuat. Putusan MK, meski bersifat final dan mengikat, bukanlah cek kosong untuk melegalkan keputusan politik yang tidak sejalan dengan prinsip pemilu lima tahunan. Justru di sinilah tantangan bagi para pembuat undang-undang untuk mencari solusi yang cermat, adil, dan sesuai amanat reformasi.

Kekuasaan bukanlah hak yang diperpanjang, melainkan mandat yang harus diperbarui lewat pemilu yang sah dan adil. Jika tidak, maka demokrasi Indonesia bisa tergelincir ke dalam krisis legitimasi yang lebih dalam. Dan ketika itu terjadi, siapa yang bisa menjamin kepercayaan publik masih bertahan?

Lainnya

Tentang

Lexi Tannica
Menulis politik, hukum, dan ekonomi.

Posting Komentar