Sabtu pagi, 5 Juli 2025, langit Ngemplak, Boyolali tampak cerah. Ribuan warga berdatangan dengan penuh semangat menuju kawasan Waduk Cengklik, membawa aneka hasil bumi yang ditata dalam gunungan megah. Gunungan itu bukan sekadar persembahan simbolik. Ia adalah wujud syukur atas berkah yang diberikan Waduk Cengklik—sumber kehidupan bagi banyak petani di wilayah tersebut.
Kirab budaya dan sedekah Waduk Cengklik menjadi ajang tahunan yang mengikat antara manusia, alam, dan budaya. Warga bukan hanya mengekspresikan rasa syukur, tapi juga mengirimkan pesan kuat tentang pentingnya menjaga lingkungan. Dalam ritual ini, tradisi lokal berpadu dengan semangat pelestarian yang menyatu dalam semangat ekowisata.
![]() |
Warga mengarak gunungan hasil bumi dalam acara Kirab Budaya dan Sedekah Waduk Cengklik di Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (5/7/2025). © Mohammad Ayudha/Antara |
Acara kirab dimulai dengan arak-arakan gunungan hasil bumi yang terdiri dari sayur-mayur, buah, dan hasil pertanian lainnya. Diiringi tetabuhan gamelan dan tarian rakyat, gunungan itu diusung dari desa menuju area utama waduk. Setelah didoakan bersama, warga langsung berebut isi gunungan—suatu ritual yang dipercaya membawa berkah dan rezeki.
Para pelaku UMKM turut dilibatkan dalam festival ini. Mereka menjajakan makanan khas Boyolali, kerajinan tangan, serta produk olahan hasil perikanan lokal. Bahkan anak-anak sekolah ikut terlibat melalui pentas seni dan lomba menggambar dengan tema “Cintai Alam, Lestarikan Waduk.” Dengan demikian, edukasi lingkungan ditanamkan sejak dini, menjadikan pelestarian bukan lagi tanggung jawab segelintir orang, melainkan gerakan kolektif lintas usia.
![]() |
Warga memperebutkan gunungan berisi hasil bumi dalam rangkaian acara Kirab Budaya dan Sedekah Waduk Cengklik di Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (5/7/2025). © Mohammad Ayudha/Antara |
Meski geliat wisata membawa manfaat ekonomi, sebagian warga khawatir makna sakral dari sedekah waduk akan tergerus komersialisasi. “Kami ingin ini tetap jadi ruang syukur, bukan semata tontonan,” kata Mbah Minah, sesepuh desa. Ia berharap pemerintah dan pengelola wisata tidak hanya fokus pada jumlah pengunjung, tetapi juga mempertahankan substansi nilai spiritual dan budaya yang terkandung dalam acara ini.
Dengan tradisi sebagai poros, dan lingkungan sebagai ruang hidup yang dijaga bersama, acara seperti kirab budaya dan sedekah Waduk Cengklik menjadi bukti bahwa masyarakat mampu merancang masa depan yang harmonis antara manusia dan alam. Dan dalam harmoni itulah, keberlanjutan menemukan pijakannya.