Sabtu, 5 Juli 2025, di Dusun Onga, Desa Matotonan, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, suara tabuhan genderang dan nyanyian purba menggema di antara pepohonan lebat hutan hujan. Sejumlah Sikerei, para dukun tradisional suku Mentawai, tampak mengenakan pakaian adat lengkap dengan hiasan daun dan lukisan tubuh, menjalankan ritual kematian di Mentawai dalam sebuah upacara yang dikenal sebagai kamateijat. Dalam prosesi ini, mereka memimpin masyarakat melakukan E’eruk, sebuah ritual pembersihan spiritual dari hal-hal buruk yang dipercaya masih melekat setelah seseorang meninggal dunia.
Ritual kematian di Mentawai ini bukan sekadar seremoni pelengkap duka. Ia adalah tonggak spiritual yang menghubungkan kehidupan manusia, arwah leluhur, serta keharmonisan dengan alam. Tidak hanya keluarga yang berduka yang hadir, namun seluruh anggota uma, atau rumah adat Mentawai, ikut berpartisipasi dalam upacara yang berlangsung hingga berhari-hari itu.
Di tengah upacara, seekor babi dibaringkan di depan rumah adat, menjadi pusat perhatian dalam prosesi penyucian. Sikerei menari di sekelilingnya, melantunkan doa dan mantra yang diwariskan turun-temurun. Babi tersebut akan disembelih dalam rangkaian ritual sebagai persembahan bagi roh orang yang telah pergi serta simbol pengalihan hal-hal buruk agar tidak menimpa yang masih hidup.
Ritual kematian di Mentawai yang dikenal sebagai E’eruk mengandung filosofi yang dalam. Bagi masyarakat Mentawai, kematian bukanlah akhir, melainkan peralihan ke alam roh. Namun, sebelum roh benar-benar tenang di alamnya, harus ada pembersihan jiwa dan rumah yang ditinggalkannya. Dalam kepercayaan mereka, sisa-sisa energi buruk dapat tertinggal dan mengganggu keseimbangan hidup keluarga yang ditinggalkan jika tidak dibersihkan dengan benar.
Melalui kamateijat, keluarga dan kerabat menunjukkan rasa hormat terakhir kepada mendiang. Prosesi ini bukan hanya ditujukan untuk arwah, melainkan juga sebagai bentuk solidaritas sosial dan spiritual di antara komunitas. Setiap langkah, dari pemanggilan roh, pengorbanan babi, hingga pesta adat di akhir prosesi, dilakukan dengan kesadaran bahwa semua itu bertujuan menciptakan keharmonisan antara manusia, leluhur, dan semesta.
Sikerei memegang peran penting dalam seluruh prosesi. Mereka adalah penjaga pengetahuan spiritual, penghubung antara dunia nyata dan dunia roh. Tubuh mereka yang penuh tato bukan hanya hiasan, tetapi penanda peran dan pengalaman dalam menjalani kehidupan spiritual. Mereka dipercaya mampu menyeimbangkan kekuatan alam melalui nyanyian dan gerakan yang telah diwariskan selama ratusan tahun.
Pengorbanan seekor babi dalam ritual kematian di Mentawai bukanlah tindakan sembarangan. Hewan tersebut dipilih secara khusus dan disiapkan dengan baik. Sebelum disembelih, babi ditempatkan di hadapan rumah adat, dan diperlakukan dengan penghormatan. Ritual penyembelihan bukan sekadar pengorbanan fisik, tetapi juga bentuk simbolik pelepasan energi buruk dan pembersihan spiritual bagi seluruh anggota uma.
Daging babi tersebut kemudian dibagikan dalam pesta adat yang digelar setelah ritual utama. Pesta ini bukan sekadar ajang makan bersama, melainkan perayaan hidup dan kelahiran kembali dalam bentuk spiritual. Melalui makanan bersama, masyarakat menyatukan kembali semangat kolektif mereka setelah duka.
Ritual E’eruk menjadi titik balik: dari kesedihan menuju keseimbangan, dari kematian menuju pembaruan. Dalam konteks kehidupan modern, ritual ini menjadi bentuk perlawanan terhadap homogenisasi budaya. Ia menegaskan bahwa spiritualitas lokal memiliki tempat yang penting dalam struktur sosial masyarakat yang kian kompleks.
Uma dalam tradisi Mentawai bukan hanya tempat tinggal. Ia adalah institusi sosial, pusat kehidupan keluarga besar, tempat berkumpulnya berbagai generasi. Ketika seseorang dalam uma meninggal, seluruh komunitas uma ikut merasakan kehilangan dan bertanggung jawab atas ritual kamateijat.
Tidak seperti pemakaman modern yang bersifat individual dan privat, upacara kematian di Mentawai bersifat kolektif dan terbuka. Semua orang terlibat. Anak-anak, orang tua, laki-laki, perempuan—semua menjalankan peran mereka, baik dalam persiapan makanan, menata tempat, maupun mengikuti prosesi ritual.
Dalam konteks inilah, ritual kematian di Mentawai sekaligus menjadi pelajaran tentang bagaimana komunitas adat menjaga kohesi sosial mereka. Mereka tidak bergantung pada birokrasi atau institusi luar, tetapi memelihara tata hidup melalui adat yang dijalankan bersama.
Meski kaya akan makna, ritual kamateijat dan praktik spiritual Sikerei menghadapi tantangan berat di era modern. Arus wisata, ekspansi pembangunan, serta tekanan terhadap sistem kepercayaan lokal membuat praktik ini rentan dilupakan. Anak-anak muda Mentawai kini tumbuh dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, namun sering kali terputus dari akar adatnya.
Beberapa pihak telah berupaya mendokumentasikan dan mempopulerkan kembali praktik ritual kematian di Mentawai agar tetap hidup dan dihargai. Pemerintah daerah, akademisi, serta komunitas adat saling bekerja sama mengembangkan strategi pelestarian budaya melalui pendidikan adat, dokumentasi visual, dan promosi ekowisata berbasis budaya.
Namun, pelestarian sejati hanya mungkin jika masyarakat Mentawai sendiri melihat nilai yang terus hidup dari ritual ini. Kamateijat dan E’eruk bukanlah fosil budaya, tetapi warisan spiritual yang dinamis. Ia hanya akan terus hidup jika tetap dijalankan, bukan hanya sebagai simbol masa lalu, tetapi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Ritual kematian di Mentawai bukan sekadar peristiwa adat. Ia adalah manifestasi dari filosofi hidup masyarakat yang memandang alam, manusia, dan roh leluhur sebagai satu kesatuan. Dalam kamateijat dan E’eruk, tersimpan nilai-nilai spiritualitas, solidaritas sosial, dan kearifan lokal yang langka ditemukan dalam sistem kepercayaan modern.
Melalui kehadiran para Sikerei dan partisipasi penuh komunitas uma, ritual ini menjadi bukti bahwa warisan leluhur tetap bisa menjadi fondasi dalam menghadapi perubahan zaman. Upacara kematian yang penuh warna dan makna ini menunjukkan bahwa dalam kematian pun, kehidupan tetap dirayakan.