Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, atau yang akrab disapa Tom Lembong, tengah menghadapi salah satu episode paling menentukan dalam hidupnya. Pada Jumat, 4 Juli 2025, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, ia dituntut hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider enam bulan kurungan oleh jaksa penuntut umum. Jaksa menilai Tom Lembong terbukti bersalah dalam kasus dugaan korupsi impor gula tahun 2015–2016, sebuah tuduhan yang disebut menyebabkan kerugian negara mencapai lebih dari setengah triliun rupiah.
Tuntutan terhadap Tom Lembong menjadi bahan diskusi luas di masyarakat. Tidak hanya karena besarnya nilai kerugian negara yang disebut jaksa, tetapi juga karena posisi Lembong sebagai mantan pejabat publik yang selama ini dikenal sebagai bagian dari kalangan profesional, bukan politikus karbitan. Maka, pertanyaannya pun menyeruak: apakah tuntutan ini benar-benar murni sebagai bentuk penegakan hukum, atau justru bagian dari manuver kekuasaan yang tak kasatmata?
Jaksa menilai Tom Lembong tidak hanya memberikan persetujuan impor gula tanpa melalui prosedur formal, seperti surat rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, tetapi juga telah melangkahi proses rapat koordinasi lintas kementerian. Tindakan itu dinilai memperkaya sejumlah perusahaan swasta dan menyebabkan kerugian keuangan negara.
Sikap Tom yang dinilai tidak menyesali perbuatannya dan tak mendukung program negara dalam pemberantasan korupsi disebut jaksa sebagai hal yang memberatkan. Sedangkan satu-satunya hal yang dianggap meringankan adalah karena ia belum pernah dihukum sebelumnya.
Namun, Lembong membantah tuduhan tersebut. Ia bersikukuh bahwa seluruh keputusan telah melalui mekanisme resmi, termasuk rapat koordinasi lintas kementerian. Ia juga menyangkal keterlibatannya dalam penunjukan 21 perusahaan swasta oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), menyatakan bahwa keputusan tersebut dibuat oleh PT PPI tanpa diskusi dengannya.
Apakah ini bentuk pembangkangan seorang mantan pejabat terhadap sistem hukum? Atau justru pertahanan terakhir dari seseorang yang sedang dijadikan tumbal oleh sistem?
Pusat dari dakwaan ini adalah angka fantastis: kerugian negara Rp 578,1 miliar. Angka ini bukanlah tuduhan yang ringan. Namun, pertanyaan penting muncul: bagaimana kerugian ini dihitung? Jaksa menyebut angka tersebut berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tapi publik layak tahu: apakah kerugian tersebut akibat korupsi langsung, atau akibat dari skema harga yang tidak efisien dan keputusan yang dilakukan di bawah tekanan ekonomi waktu itu?
Dalam penugasan kepada PT PPI untuk melakukan pengadaan gula kristal putih, Tom disebut jaksa telah membiarkan penetapan harga dilakukan oleh perusahaan swasta yang lebih tinggi dari harga patokan petani. Namun, logika ekonomi pasar, terutama di sektor bahan pokok yang volatil seperti gula, tidak selalu mengikuti aturan hitam-putih. Harga gula domestik bisa melonjak karena berbagai faktor, dari cuaca hingga spekulan.
Jika penetapan harga dilakukan dalam koordinasi dengan koperasi dan pelaku industri, benarkah ini semata-mata korupsi, atau justru upaya mencari solusi jangka pendek saat pasokan domestik tersendat?
Dalam sistem demokrasi yang rapuh oleh oligarki, tak jarang hukum menjadi alat. Pertanyaannya, apakah kasus ini akan jadi contoh penegakan hukum yang adil, atau justru menambah daftar panjang mantan pejabat yang dijadikan tumbal atas nama moralitas?
Perlu diingat, kasus impor gula bukan hanya menyentuh satu atau dua pejabat. Daftar panjang nama perusahaan dan direktur utama yang diduga terlibat membuktikan bahwa kasus ini sistemik. Maka menjadi aneh jika hanya satu atau dua orang yang diminta menanggung seluruh beban hukum.
Jika Tom Lembong dijatuhi hukuman maksimal sementara para pihak swasta yang jelas diuntungkan hanya dikenai denda administratif atau hukuman ringan, ini menandakan ada yang lebih kompleks dari sekadar tindakan melawan hukum. Dalam konteks itu, masyarakat berhak curiga: adakah kekuatan yang sedang membersihkan jalur politik atau kekuasaan dengan menyingkirkan nama-nama tertentu?
Kasus Tom Lembong kembali membuka diskusi klasik: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Bila dibandingkan dengan kasus korupsi besar lain yang melibatkan angka triliunan, tuntutan tujuh tahun untuk kasus yang nilainya Rp 578 miliar memang terasa berat. Bandingkan saja dengan vonis ringan terhadap sejumlah pejabat tinggi atau politisi yang jelas-jelas terbukti korupsi dana bansos, proyek infrastruktur, atau hibah kementerian.
Jika hukum hanya keras kepada orang-orang yang tidak berada dalam lingkaran kekuasaan, dan lunak kepada mereka yang dekat dengan elite, maka kepercayaan publik terhadap hukum akan terus tergerus. Padahal, keberhasilan hukum bukan hanya pada kerasnya tuntutan, tapi pada keadilannya yang merata.
Yang dibutuhkan publik hari ini bukan hanya keputusan akhir dari majelis hakim, tapi proses yang terbuka, transparan, dan masuk akal. Rakyat berhak tahu detail kronologi kasus ini: siapa yang memulai, siapa yang paling diuntungkan, siapa yang membuat keputusan, dan siapa yang memfasilitasi alur distribusi gula hingga akhirnya negara dirugikan.
Jaksa menyebut bahwa perusahaan-perusahaan importir mendapatkan keuntungan besar. Maka mereka juga harus dimintai pertanggungjawaban yang setara. Jangan sampai publik melihat bahwa hanya Tom Lembong yang dihukum berat, sementara jaringan bisnis di belakangnya tak tersentuh.
Jika tidak ada transparansi dalam pengungkapan detail transaksi dan kronologi keputusan, publik akan sulit membedakan mana pelanggaran dan mana pengorbanan.
Rabu, 9 Juli 2025, akan menjadi momentum penting bagi pembelaan Tom Lembong. Nota pembelaan yang akan dibacakan bisa membuka ruang baru bagi publik untuk melihat sisi lain dari narasi jaksa. Bukan tidak mungkin, nota pembelaan itu akan menjadi senjata politik terselubung jika isinya mampu membuka fakta-fakta baru yang belum terungkap.
Yang jelas, publik akan menanti: apakah ini sekadar kisah pejabat yang jatuh karena keserakahan, atau cerita lama tentang seseorang yang dijadikan kambing hitam oleh sistem yang lebih besar?
Kasus Tom Lembong dituntut 7 tahun menjadi ujian integritas bagi sistem hukum Indonesia. Ini bukan hanya perkara hukum, tapi juga narasi moralitas kekuasaan, transparansi publik, dan kepercayaan rakyat terhadap institusi negara. Jika proses ini hanya menjadi ajang mempertontonkan hukuman tanpa keadilan, maka luka kepercayaan itu akan sulit disembuhkan.
Sebaliknya, jika proses ini dilakukan dengan benar—terbuka, adil, dan menyeluruh—maka publik akan melihat bahwa hukum di negeri ini memang masih hidup, dan tidak sedang dikubur pelan-pelan oleh tangan kekuasaan.