![]() |
Ketok palu. © Olena Ruban/Getty Images |
Pernahkah membayangkan seorang filsuf Yunani zaman kuno duduk di galeri DPR RI? Aristoteles mungkin akan tersedak kopi saat menyaksikan pembahasan RUU dilakukan dalam waktu kurang dari 24 jam. Plato barangkali akan membatalkan konsep Politeia begitu tahu bahwa legislasi hari ini bisa didesain dalam ruang lobi hotel, dibumbui dengan kuota menteri dan tabungan elektoral.
Begitu ajaibnya dunia hukum kita, hingga sesuatu yang disebut "legislasi" tidak perlu lagi menunggu pengkajian etika, moral publik, atau evaluasi filosofis. Cukup disepakati oleh koalisi besar—yang terdiri dari orang-orang dengan rekam jejak "tak tercela" versi partai, dan... voila! Lahir sudah norma baru, siap menghukum rakyat.
Kata legis berasal dari Latin yang berarti hukum. Tapi di Indonesia, itu artinya: "hasil rapat cepat, disahkan oleh koalisi kuat." Undang-undang bukan lagi dokumen moral, melainkan hasil musyawarah elite, seperti memo internal yang dibumbui pasal-pasal pidana.
Dulu, legislasi dibuat oleh wakil rakyat demi membatasi kekuasaan dan menjamin keadilan. Sekarang, legislasi hadir untuk membebaskan elite dari tanggung jawab dan membatasi siapa pun yang mencoba bertanya.
Mengapa kita perlu akal sehat dalam membuat hukum, kalau nyatanya akal sehat dianggap subversif?
Konstitusi seharusnya jadi sumber segala norma—peta moral publik yang dijaga oleh lembaga yudikatif. Tapi belakangan ini, konstitusi lebih sering jadi cermin yang retak: tafsirnya bergantung siapa yang sedang memegang palu kekuasaan. Pasal-pasal dilipat, dikompres, dimodifikasi.
Lalu siapa penjaga konstitusi? Mahkamah Konstitusi, tentu. Tapi saat MK menunjukkan taringnya, ia langsung dituduh "terlalu aktif". Padahal, yang pasif seharusnya adalah masyarakat—tidak usah ikut campur, cukup antre bayar pajak dan jangan lupa nonton debat capres.
Setiap kali Mahkamah Konstitusi menerobos kebuntuan politik, muncul keluhan: "MK sudah jadi pembuat undang-undang!" Dari penjelasan Bivitri Susanti di Harian Kompas yang merujuk pandangan Hans Kelsen, dalam sistem hukum civil law, mereka hanya negative legislator—boleh membatalkan, tapi tak bisa membuat.
Sayangnya, elit kita membaca Kelsen setengah halaman saja. Lalu menyimpulkan bahwa MK tak boleh menafsir, apalagi membatalkan rancangan impian mereka. Di benak mereka, MK yang baik adalah MK yang sunyi. Tak bersuara. Tak menolak. Seperti palu kayu di atas meja: ada, tapi tak pernah dipakai.
Pemisahan kekuasaan dalam presidensialisme multipartai di Indonesia sudah seperti nasi goreng tek-tek: semua campur aduk. Eksekutif punya koalisi superbesar di legislatif, dan semua saling dukung tanpa malu-malu. Lalu siapa mengawasi siapa?
Check and balance kini jadi like and subscribe—legislatif cukup menyetujui apa pun yang diajukan presiden. Kalau ditolak, takut tidak kebagian kursi. Kalau disetujui, dapat jatah program. Luar biasa, demokrasi memang indah jika semua bersaudara dan akur... di atas penderitaan publik.
Dulu, warga negara dianggap pilar demokrasi. Kini, warga dianggap noise. Ketika mahasiswa menggugat UU, mereka dianggap belum mandi. Ketika ornop berbicara, mereka dilabeli "asing". Ketika buruh protes, mereka dikatakan tidak tahu isi pasal.
Negara yang mengalami kemunduran demokrasi memang alergi pada pengawasan rakyat. Dalam bahasa mereka, yang boleh mengawasi adalah Tuhan, itupun kalau sudah pensiun.
Logika tak lagi diperlukan dalam proses legislasi. Yang penting adalah logistik. Rasionalitas hanya memperlambat proses. Tafsir konstitusi hanya berguna untuk debat kampus, bukan untuk rapat paripurna. Sementara itu, publik hanya bisa menyimak, berharap ada putusan MK yang bisa menyelamatkan akal sehat nasional. Tapi tenang, jika tidak setuju dengan undang-undang, Anda masih bisa... mengeluh di kolom komentar.
Konsep negara hukum (rechtsstaat) seharusnya menjamin bahwa semua kekuasaan tunduk pada hukum. Tapi jika hukum dibuat semena-mena, maka negara berubah menjadi negara humor—segala pasal bisa jadi lucu, asal dibaca di waktu yang tepat.
Lucunya, meski hukum disalahgunakan, kita tetap diajari untuk hormat pada simbol negara. Seolah-olah kertas berlogo Garuda bisa menambal semua luka akibat legislasi tanpa empati.
Jadi, mengapa legislasi tak lagi butuh akal sehat? Karena akal sehat adalah musuh utama kekuasaan yang ingin nyaman tanpa kritik. Legislasi kini hanya perlu kursi, kuorum, dan kuasa. Moral publik, logika konstitusi, dan suara warga? Ah, itu urusan lain.
Yang penting, palu diketok, undang-undang tetap bisa dicetak, dibagikan di Instagram resmi lembaga, dan dibaca saat kampanye.