Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menunjukkan bahwa nalurinya sebagai arsitek kekuasaan bukan dibangun di atas rasa keadilan, tapi di atas lumpur rawa. Dalam kunjungannya ke Florida Everglades pada Selasa, 1 Juli 2025, Trump menyambut pembukaan pusat penahanan imigrasi baru yang dijuluki Alligator Alcatraz, fasilitas dengan pagar berduri, buaya liar, dan satu jalan keluar: deportasi atau kehancuran mental.
Trump bangun penjara migran di tempat yang tidak manusiawi. Ia tidak hanya ingin menunjukkan ketegasan, tetapi ingin mengukir wajah kejamnya dalam sejarah sebagai presiden yang tidak puas hanya dengan tembok perbatasan—melainkan menciptakan penjara rawa buaya untuk menahan para pencari suaka.
Pusat penahanan ini akan menampung 3.000 migran, yang menurut Trump adalah “orang paling kejam di planet ini.” Sebuah pernyataan yang, seperti biasa, lebih cocok keluar dari mulut villain dalam film fasis daripada kepala negara demokratis. Tempat ini sengaja dibangun di area yang terpencil, dikelilingi satwa liar, dan memiliki lebih banyak pagar besi daripada empati.
Trump mengatakan, fasilitas ini akan mengirimkan pesan keras kepada siapa pun yang berani melanggar hukum imigrasi Amerika Serikat. Sayangnya, pesan itu bukan tentang keadilan, tapi tentang dominasi yang haus tepuk tangan politik. Ia tidak sedang mengelola negara, ia sedang menciptakan tontonan realitas yang sadis dan mahal.
Dalam kunjungan selama tiga jam, Trump dan Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem memamerkan ruangan penahanan yang “ber-AC,” seolah-olah pendingin ruangan bisa menghapus fakta bahwa manusia dikurung dalam sel yang dikelilingi buaya, 200 kamera pengawas, dan pagar berduri sejauh 8.500 meter.
Proyek ini diselesaikan hanya dalam waktu delapan hari—bukan karena efisiensi, tetapi karena keburu ingin dipamerkan sebagai trofi baru dalam kampanye anti-imigran Trump. Sementara dunia membicarakan hak asasi manusia, Trump sibuk membangun mini-Guantanamo di wilayah rawa.
Kristi Noem mengatakan para migran bisa memilih “deportasi mandiri” ketimbang ditahan di Alligator Alcatraz. Itu seperti menawarkan pilihan antara terjun ke jurang atau diceburkan ke lubang buaya. Kebijakan ini bukan sekadar tidak manusiawi, tapi juga manipulatif.
Trump menjual ini sebagai “opsi lunak,” padahal ini hanya bentuk intimidasi modern dengan kata-kata manis. Seolah-olah siapa pun yang tidak mau ditahan di tempat ini bisa pulang dengan damai, padahal yang ditawarkan adalah rasa takut dan trauma permanen.
Trump bangun penjara migran ini bukan untuk menegakkan keadilan, tetapi untuk menunjukkan bahwa kekuasaan bisa dilakukan tanpa batas jika dibungkus dengan narasi keamanan nasional. Ini bukan solusi kebijakan imigrasi—ini teatrikalitas kekejaman yang diklaim sebagai patriotisme.
Tahanan imigrasi, menurut ICE, ditahan karena masuk secara ilegal atau melebihi masa visa. Tapi dalam Trumpverse, semua itu digeneralisasi sebagai “penjahat berbahaya.” Dengan begitu, tidak perlu ada empati. Tidak perlu ada proses hukum yang adil. Cukup buaya dan pagar besi.
Ini bukan kali pertama Trump berfantasi tentang penjara legendaris. Ia pernah bicara tentang membuka kembali Alcatraz dan bahkan mendeportasi penjahat ke Teluk Guantanamo dan penjara supermaksimum di El Salvador. Untuk Trump, penjara bukan alat koreksi sosial, tetapi simbol kekuasaan yang mencolok.
Trump tidak sedang memimpin negara, ia sedang membangun museum kebengisan di bawah label “keamanan nasional.” Ia ingin dikenang bukan sebagai negarawan, tetapi sebagai tokoh besar dalam serial Netflix “Kekuasaan tanpa Hati Nurani.”
Sementara itu, ratusan orang berkumpul memprotes pendirian penjara ini. Mereka membawa spanduk menuntut perlakuan manusiawi terhadap para migran dan perlindungan terhadap cagar alam Everglades yang menjadi rumah bagi suku asli Amerika dan spesies terancam punah. Tapi seperti biasa, Trump lebih tertarik pada jumlah kamera CCTV daripada jumlah korban kebijakan.
![]() |
Demonstran memprotes pembangunan pusat penahanan yang dijuluki "Alligator Alcatraz" di Everglades dekat Ochopee, Florida, Selasa, 1 Juli 2025. © Martina Tuaty/Bloomberg/Getty Images |
Bagi Trump, suara warga negaranya hanya relevan jika mendukung dirinya. Jika tidak, maka mereka hanyalah “musuh dalam negeri.” Protestan dianggap pengganggu. Migran dianggap beban. Dan rawa buaya dianggap solusi.
Alligator Alcatraz bukan fasilitas penahanan, ini alat kampanye. Trump menjadikannya simbol bahwa pemerintahannya mampu “mengalahkan” krisis imigrasi dengan cara paling spektakuler dan sadis. Ini bukan soal efektivitas, tapi soal optik politik. Dan untuk itu, manusia dikurung dan akal sehat dibekukan.
Dengan fasilitas ini, Trump berharap bisa mengobarkan lagi api politik populis yang telah membawa dia kembali ke Gedung Putih. Tapi harga yang dibayar adalah kemanusiaan, kredibilitas hukum internasional, dan masa depan Amerika sebagai negara yang katanya menjunjung kebebasan dan keadilan.
Dengan dibangunnya Alligator Alcatraz, Trump membalikkan makna “American Dream.” Ia tidak ingin dunia melihat Amerika sebagai tempat harapan, tapi sebagai negara yang menghukum siapa pun yang berani datang mencari keselamatan.
Trump bangun penjara migran untuk menakuti dunia. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah, ia menelanjangi wajah kekuasaan yang ketakutan akan bayangannya sendiri—ketakutan bahwa keadilan dan belas kasih bisa mengalahkan dominasi dan kontrol.
Trump bangun penjara migran bukan untuk menyelesaikan masalah, tapi untuk menciptakan simbol kekuasaan yang brutal. Alligator Alcatraz menjadi bukti bahwa kekejaman bisa dikemas dengan pendingin ruangan, kamera pengawas, dan pidato sambutan. Dunia melihat ini bukan sebagai solusi imigrasi, tetapi sebagai pengkhianatan terhadap kemanusiaan.
Trump dan pemerintahannya tidak memperkuat Amerika. Mereka mengurung nilai-nilainya di balik pagar berduri dan rawa penuh predator.