Iran hentikan kerja sama dengan IAEA

Teheran sebut laporan IAEA jadi dalih pengeboman, tapi diplomasi nuklir tetap dibuka asal tak diselingi rudal.

Iran hentikan kerja sama dengan IAEA. © Morteza Nikoubazl/Nur/Getty Images
Seorang pelayat Iran (tak tampak dalam bingkai) melambaikan bendera Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) di depan papan reklame berisi boneka dan kafan, simbol dari jenazah anak-anak Iran yang tewas dalam serangan Israel, saat pemakaman komandan IRGC, ilmuwan nuklir, dan warga sipil yang jadi korban. Teheran, Iran, 28 Juni 2025. © Morteza Nikoubazl/Nur/Getty Images

Pemerintah Iran, dalam gerakan geopolitik yang seolah ingin menulis ulang kitab diplomasi internasional, resmi menghentikan kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Langkah ini diumumkan lewat siaran televisi pemerintah Iran pada Rabu, 2 Juli 2025—karena tentu saja, pengumuman sebesar ini lebih afdal dilakukan lewat siaran nasional daripada konferensi pers bersama komunitas global.

Sambil menyelipkan nada nasionalisme dan resistensi, Teheran menegaskan bahwa mereka masih membuka pintu diplomasi—tentu, setelah pintu bunker nuklirnya tertutup rapat dan pintu masuk kantor IAEA diblokir pakai beton bertulang. “Pemerintah diamanatkan untuk segera menangguhkan semua kerja sama,” bunyi undang-undang yang diloloskan tanpa hambatan berarti, seperti jalan tol di gurun tanpa lalu lintas.

Di parlemen Iran, undang-undang pemutusan hubungan dengan IAEA mendapat dukungan 221 suara dari total 223 anggota yang hadir. Satu suara abstain diyakini berasal dari anggota yang sedang mengantuk saat voting berlangsung. Tidak ada suara menolak. Karena, mengapa harus berseberangan dalam negara yang sangat akur dalam menentukan siapa musuh dan siapa pengganggu?

Dewan Wali, badan yang bertugas menjaga undang-undang agar tetap halal dan sesuai konstitusi, juga sudah meninjau RUU tersebut dan tidak menemukan unsur haram atau inkonstitusional. Artinya, segala keputusan sudah sesuai syariah, konstitusi, dan—yang paling penting—stabilitas ego nasional.

Menlu Iran Abbas Aragchi menyatakan bahwa pintu diplomasi masih terbuka. Hanya saja, pintu itu dilengkapi sistem keamanan tiga lapis, sensor anti-peluru, dan alarm rudal. “Pintu diplomasi tidak akan pernah tertutup rapat,” katanya kepada kantor berita Tasnim, sambil menyisipkan bahwa mereka juga sedang mempertimbangkan apakah pintu tersebut perlu gembok tambahan.

Putaran perundingan keenam yang dijadwalkan berlangsung di Oman akhirnya gagal karena, menurut Iran, berunding sambil dibombardir rudal adalah bentuk bullying internasional. “Amerika harus jamin tidak akan menyerang kami selama negosiasi,” kata Aragchi, setengah serius setengah paranoid.

Dalam wawancara penuh semangat, Aragchi menjelaskan bahwa sains nuklir adalah kebanggaan nasional. Seperti orang tua membanggakan anak yang lulus jadi insinyur, Iran membanggakan sentrifugal uraniumnya. “Kalau pun dihancurkan, kami punya cadangan semangat dan blueprint-nya. Kami bisa membangunnya kembali, seperti membangun stadion usai gempa,” ujarnya.

Dia menambahkan bahwa program nuklir damai Iran telah menjadi simbol perjuangan, kehormatan, dan kecintaan terhadap isotop tertentu. “Pengayaan uranium bukan soal fisika, ini soal harga diri,” katanya, sambil mengusap diagram reaktor seolah-olah itu lukisan Van Gogh.

Iran menilai laporan IAEA sebagai pemicu serangan dan tidak netral—alias seperti moderator debat yang diam-diam memihak satu kandidat. Pejabat kehakiman Iran, Ali Mozaffari, bahkan menyebut Rafael Grossi harus bertanggung jawab secara moral, spiritual, dan mungkin juga finansial. “Ini laporan palsu dan menipu,” kata Mozaffari sambil mungkin berharap IAEA bisa dibawa ke pengadilan internasional versi Iran—jika ada.

Iran hentikan kerja sama dengan IAEA. © Albert Otti/dpa/Getty Images
Kepala Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, tampak berdiri dengan penuh diplomasi dan dosis optimisme standar saat sesi media di Wina, Austria, 23 Juni 2025. © Albert Otti/dpa/Getty Images

Grossi sendiri, dalam pembelaan klasik ala ilmuwan, menyatakan laporan IAEA tidak pernah menyebut ada bom, hanya uranium yang terlalu semangat berputar. Tapi tentu saja, di mata Teheran, tidak ada yang lebih mencurigakan dari organisasi internasional yang terlalu sering memakai kata ‘verifikasi’.

Tak mau kalah gaya, Menlu Israel Gideon Saar langsung menyebut langkah Iran sebagai “pengumuman memalukan”—tanpa basa-basi atau upaya diplomatis. Di platform X (dulu Twitter, sekarang tempat curhat internasional), Saar menyerukan dunia untuk “menggunakan semua cara” menghentikan ambisi nuklir Iran. Karena kalau tidak, siapa tahu, uranium itu berubah jadi semangat revolusi global.

Saar menegaskan bahwa Israel tidak akan ragu menyerang lagi jika merasa terancam, bahkan jika ancaman itu hanya berupa diagram reaktor di buku pelajaran anak SMA Iran. “Kami buktikan kami bisa bela diri. Dan akan terus melakukannya,” tulisnya, dengan nada seperti guru olahraga yang tidak pernah absen saat upacara.

UU yang diloloskan Iran menyebutkan bahwa penghentian kerja sama dengan IAEA akan berlangsung hingga keamanan fasilitas dan ilmuwan terjamin. Karena, ternyata di Iran, ilmuwan nuklir diperlakukan seperti bintang rock yang butuh pengamanan ekstra—bedanya, ancamannya bukan penggemar histeris, melainkan drone bersenjata.

Teheran menyiratkan bahwa selama belum ada jaminan keselamatan, mereka akan menutup semua akses ke fasilitas nuklirnya. Termasuk kamera pengawas yang selama ini digunakan IAEA—kamera itu kini hanya merekam angin bertiup dan tikus-tikus lab yang bingung kehilangan penonton.

Fordo, Isfahan, Natanz—nama-nama fasilitas pengayaan nuklir Iran yang kini jadi seperti karakter dalam novel perang modern. Masing-masing punya cerita, puing-puing, dan tim teknisi yang bekerja 24 jam memperbaiki kerusakan. Tapi pemerintah Iran yakin: selama semangatnya hidup, sentrifugal akan terus berputar.

Aragchi berkata, “Jika kami punya kemauan, maka kami bisa memperbaiki kerusakan.” Sebuah pernyataan yang, jujur saja, bisa digunakan dalam semua aspek kehidupan dari nuklir hingga hubungan rumah tangga.

Pihak internasional kini berada di antara dua pilihan: terus mendesak Iran untuk bekerja sama, atau membiarkannya menciptakan eksperimen nuklir yang membuat Frankenstein tampak seperti mainan Lego. Sementara itu, Iran tetap di jalurnya—mencampurkan sains, kebanggaan, dan paranoia dalam satu tabung reaksi besar bernama geopolitik Timur Tengah.

Dan dunia? Dunia hanya bisa berharap diplomasi tetap lebih kuat daripada uranium yang sudah 90 persen diperkaya.

Lainnya

Posting Komentar