![]() |
Seorang pengunjung berdiri di bawah instalasi seni dalam Pameran Art Borneo: Bala Dingan di Gedung Dekranasda Kalbar, Pontianak, Selasa (24/6/2025). © Jessica Wuysang/Antara |
Barangkali sudah waktunya dunia internasional mengganti pertemuan diplomatik penuh jargon dan katering mahal dengan pameran seni seperti Art Borneo Bala Dingan. Apa pasal? Karena pameran ini berhasil mempertemukan Indonesia, Malaysia, dan Brunei dalam satu ruangan tanpa ada adu argumen soal batas wilayah, tanpa debat soal harga sawit, dan tentu saja tanpa ancaman embargo. Cukup lukisan, instalasi unik, dan—yang paling penting—tanpa pungutan biaya. Mungkin hanya Tuhan dan panitia yang tahu bagaimana bisa ini terjadi di Gedung Dekranasda Kalimantan Barat.
Dalam era di mana negara-negara di Borneo sering berselisih paham soal asap, ekspor TKI, dan siapa yang paling sah mengklaim Orang utan, Art Borneo Bala Dingan hadir bak oase di tengah padang konflik regional. Judulnya saja sudah magis: "Bala Dingan", yang menurut kamus lokal berarti "sekumpulan kawan". Luar biasa, ya. Sebelum para pemimpin negara sadar bahwa mereka sekumpulan kawan, para seniman Dayak Bidayuh sudah lebih dulu menyulap kata menjadi konsep multikultural.
Tiga negara hadir: Indonesia dengan 20 karya, Malaysia dan Brunei masing-masing 6 karya. Jumlah yang sedikit timpang, tetapi siapa peduli? Ini bukan Piala AFF. Yang penting bukan menang banyak, tapi tampil nyeni.
Biasanya, yang gratis itu meragukan: seminar investasi bodong, undangan dari “teman lama” yang tiba-tiba ngajak ketemuan, atau diskon skincare dengan harga sebelum diskon yang fiktif. Tapi Art Borneo Bala Dingan membuktikan bahwa gratis bisa menjadi kata yang agung. Tak ada tiket masuk, tak ada biaya parkir (asal tahu tempat), hanya perlu registrasi. Sebuah tindakan yang, bagi masyarakat Indonesia, nyaris setara dengan mengisi formulir CPNS.
Yang dipamerkan? Bukan lukisan anak SD yang dipaksa guru menggambar rumah dan dua gunung. Ini karya seniman beneran. Dari instalasi kontemporer sampai lukisan-lukisan yang bisa membuat pengunjung lupa bahwa di luar masih macet dan cuaca Pontianak sedang panas-panasnya.
Ada sesuatu yang mengharukan ketika negara-negara dengan latar sejarah kolonial dan konflik diplomatik bisa duduk bersama, bukan di forum internasional yang penuh sandiwara, tapi di ruang galeri sederhana. Di balik kanvas dan cat minyak, terselip upaya untuk saling memahami. Tak perlu debat panas soal ASEAN Charter. Tak perlu tanda tangan MOU berbahasa Inggris yang tak semua delegasi paham.
Cukup dengan satu lukisan yang menampilkan motif Dayak, satu instalasi bambu dari Sabah, dan mungkin satu potret Sultan Brunei dengan teknik realis. Semua menyatu tanpa perlu perdebatan panjang. Bahkan tanpa perlu perwakilan dari Kementerian Luar Negeri. Mungkin, kalau seni bisa jadi standar diplomasi, dunia akan damai dan lebih murah operasionalnya.
Tentu tidak semua bisa diselesaikan dengan pameran lintas negara. Realita seni di Indonesia, Malaysia, dan Brunei masih penuh liku. Dana terbatas, infrastruktur kurang, dan minimnya edukasi seni di masyarakat menjadi tantangan serius. Tapi jika Art Borneo Bala Dingan bisa jadi pembuka jalan, setidaknya kita tahu bahwa “bersama” itu bukan mitos.
Lebih jauh, kegiatan seperti ini juga menjadi sinyal keras kepada kementerian terkait: bahwa rakyat mau, rakyat bisa, dan rakyat siap menikmati karya seni. Yang perlu dikerjakan negara cuma satu: jangan ganggu dengan birokrasi.
![]() |
Seorang pengunjung menatap karya lukis di Pameran Art Borneo: Bala Dingan di Gedung Dekranasda Kalbar, Pontianak, Selasa (24/6/2025). © Jessica Wuysang/Antara |
Kalau seni ingin benar-benar hidup di Borneo, Bala Dingan harus jadi titik awal, bukan puncak. Harus ada ruang-ruang seni permanen, program edukasi budaya lintas batas, hingga dukungan nyata dari pemerintah dalam bentuk yang tidak cuma simbolik. Jangan sampai setelah pameran berakhir, gedung kembali sepi, debu mulai menempel di dinding, dan seniman kembali ke rutinitas kerja sambilan demi bayar cicilan motor.
Art Borneo Bala Dingan menunjukkan bahwa kolaborasi lintas negara bisa terjadi, asal diberi ruang. Tapi ruang itu harus diperluas, bukan hanya secara fisik, tapi juga dalam kebijakan dan perhatian publik.
Di saat dunia sibuk mengadakan pertemuan tingkat tinggi yang hasilnya cuma press release dan janji manis, Borneo diam-diam membangun jembatan lewat seni. Tak ada sambutan kaku, tak ada protokol berbelit, hanya karya dan kebersamaan.
Jadi kalau ada yang bertanya, "Apa solusi hubungan diplomatik di Asia Tenggara?" Jawab saja: "Art Borneo Bala Dingan." Murah, efektif, unik, dan nyeni.