Di negara lain, buron korupsi mungkin akan merasa gelisah, bersembunyi dari kejaran, dan mencoba menutupi jejak. Tapi di Indonesia, koruptor malah jadi pesulap ulung. Dengan kekuatan uang, jaringan, dan pengacara mahal, mereka bisa menyulap status tersangka jadi selebritas diaspora. Dan seperti biasanya, pemerintah ditelikung koruptor, kali ini lewat drama ekstradisi Paulus Tannos dari Singapura.
Paulus Tannos alias Tjhin Thian Po bukan nama baru. Ia tersangka kasus mega korupsi e-KTP sejak 2019, dan entah bagaimana, berhasil menemukan “tempat peristirahatan” di Singapura sambil membangun karier baru sebagai penghindar hukum profesional. Sementara pemerintah Indonesia? Masih memantau.
Jika Anda berpikir kasus ini mengejutkan, mungkin Anda lupa bahwa Indonesia punya tradisi kuat membiarkan koruptor kabur. Sudjiono Timan dan Djoko Tjandra adalah dua alumni dari jurusan “Kabur dan Menang Tanpa Pulang.”
Sudjiono Timan merugikan negara Rp1,2 triliun. Ia kabur sebelum Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara, lalu bebas melalui Peninjauan Kembali—bukan oleh dirinya sendiri, tapi oleh istrinya. Luar biasa bukan? Di negeri ini, cinta sejati bisa mengajukan PK untuk menggugurkan dosa suami.
Djoko Tjandra? Kasusnya serupa. Merugikan negara Rp500 miliar, kabur, dan berhasil bebas melalui PK yang diajukan—lagi-lagi—oleh istri tercinta, Anna Boentaran. Tampaknya, cinta dan hukum di Indonesia memang saling bertaut, terutama jika rekening banknya cukup gemuk.
Dan sekarang, Paulus Tannos mencoba masuk buku sejarah yang sama. Melawan ekstradisi dari Singapura dengan tim pengacara yang setara Dream Team NBA, lengkap dengan nama-nama internasional seperti Bachoo Mohan Singh, Suang Wijaya, dan Hamza Malik. Ketika hukum Indonesia mencoba menyerang, mereka menangkisnya dengan argumen hukum berlapis emas dan kopi hangat.
Singapura, negeri yang kerap dijadikan role model hukum dan keteraturan, ternyata tidak secepat itu memulangkan Tannos. Padahal, mereka sudah menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Indonesia pada Januari 2022. Tapi tampaknya, kertas perjanjian lebih cocok jadi dekorasi dinding dibanding alat eksekusi keadilan.
Singapura memang menyatakan dukungan terhadap pemberantasan korupsi. Tapi dukungan itu tampaknya lebih cocok dikirim dalam bentuk kartu pos: manis, simbolis, dan tidak mengikat. Pemerintah Indonesia sudah mengajukan ekstradisi melalui Kejaksaan Agung Singapura, lengkap dengan bukti dan argumen hukum. Tapi Tannos? Ia masih di Singapura, masih bebas, dan mungkin sedang tertawa kecil membaca berita ini.
Jika ekstradisi ini gagal, maka pemerintah Indonesia tidak hanya dipermalukan, tetapi juga dipecundangi oleh seseorang yang tidak perlu repot-repot kembali ke tanah air untuk menertawakan sistem hukum negaranya sendiri.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang terlibat dalam kasus ini. Tapi seperti biasa, mereka lebih sering menjadi komentator ketimbang pemain utama. Mereka menyarankan agar pemerintah menggencarkan diplomasi, menunjukkan bukti, menyampaikan pesan moral, dan berharap Singapura tersentuh nuraninya.
Sayangnya, dalam urusan hukum dan korupsi, nurani bukan alat tukar yang efektif. Di tengah percaturan geopolitik, bisnis, dan kepentingan bilateral, nada diplomasi kita terlalu sopan, terlalu manis, dan terlalu takut menyinggung. Bahkan untuk membela keadilan sekalipun.
Padahal, pemerintah bisa melakukan lebih. Mempermalukan koruptor di forum internasional, mengumumkan daftar hitam bisnisnya, dan menyasar aset-asetnya. Tapi seperti biasa, pilihan pemerintah jatuh pada “pantau terus situasi” sambil menunggu mukjizat.
Kasus Tannos menunjukkan bahwa di Indonesia, hukum tidak menjamin keadilan—hanya prosedur. Selama prosedur diikuti, apa pun hasilnya bisa diterima. Termasuk ketika koruptor lolos hanya karena celah hukum, tim pengacara hebat, atau paspor yang tepat.
Tak mengherankan jika masyarakat mulai putus asa. Ketika koruptor bisa hidup nyaman di luar negeri, membangun bisnis baru, dan bahkan mengajukan PK lewat pasangan hidup, apa yang bisa dipercaya dari sistem hukum ini? Apakah hukum hanya berlaku bagi warga negara biasa yang mencuri karena lapar?
Jika pengadilan Singapura menolak ekstradisi Tannos, maka itu bukan hanya kekalahan hukum, tetapi penghinaan terhadap seluruh sistem negara. Bayangkan: Indonesia dengan 270 juta jiwa, ribuan jaksa, aparat, diplomat, dan pejabat, dikalahkan oleh satu orang berusia 70 tahun yang membawa koper penuh dokumen dan ratusan alasan hukum.
Ekstradisi Tannos seharusnya jadi “pecah telur” dari perjanjian dengan Singapura. Tapi jika yang pertama saja gagal, maka perjanjian itu tak lebih dari pajangan prestise tanpa hasil. Dan para koruptor akan segera memesan tiket satu arah ke Changi Airport sambil tersenyum lega.
Saat pemerintah mengatakan akan terus berjuang agar Tannos dipulangkan, warga negara hanya bisa bertanya: kapan? Karena sejak dahulu, perjuangan pemerintah melawan koruptor sering berakhir di ruang konferensi pers, bukan di balik jeruji besi.
Kita hidup di negara yang suka memaafkan koruptor, mengundang mereka ke pesta politik, memberi mereka jabatan baru, dan—jika perlu—mengizinkan mereka kabur sambil membawa koper penuh uang warga negara. Maka tidak heran jika warga negara sudah lelah berharap.
Karena pada akhirnya, ketika pemerintah ditelikung koruptor, itu bukan kejadian luar biasa. Itu adalah ritual rutin dalam demokrasi kita yang kabur arah. Warga negara hanya bisa menonton, media hanya bisa melaporkan, dan pemerintah hanya bisa berdoa agar pelanggar hukum bersedia menyerahkan diri dengan kesadaran tinggi.