Negara tak boleh takluk pada tambang di Raja Ampat

Saatnya pemerintah berhenti jadi humas korporasi tambang, dan mulai bertindak sebagai pelindung warga serta penjaga konstitusi.
Negara tak boleh takluk pada tambang di Raja Ampat. © Olha Mulalinda/Antara
Tambag di Pulau Gag. © Olha Mulalinda/Antara

Negara yang sehat adalah negara yang tahu kapan harus berkata "tidak"—terutama pada para pemilik modal yang doyan merampas ruang hidup warga negara atas nama investasi dan hilirisasi. Tapi tampaknya, negeri kita sedang flu berat. Sebab dalam kasus tambang di Raja Ampat, pemerintah sempat kehilangan suara, bahkan sempat jadi juru bicara tidak resmi para pengusaha tambang. Padahal, negara tak boleh takluk pada tambang di Raja Ampat.

Konstitusi seharusnya jadi kitab suci yang tidak boleh dikompromikan demi keuntungan jangka pendek. Tapi entah kenapa, di Raja Ampat, pasal-pasal suci itu mendadak terdengar seperti lirik lagu yang hanya dinyanyikan saat upacara bendera. Selebihnya, dilupakan. Dilanggar. Diabaikan.

Bayangkan, lima perusahaan tambang diberi izin resmi untuk beroperasi di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Lima! Bukan satu, bukan dua, tapi lima. Mungkin karena empat masih kurang untuk menguras surga, jadi ditambah satu biar puas.

Dua perusahaan—PT Gag Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama—dapat izin dari pemerintah pusat. Tiga lainnya—PT MRP, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Nurham—dapat restu dari pemerintah daerah. Kita tidak tahu apakah mereka harus membawa sesajen saat mengurus izinnya, atau cukup dengan dokumen dan senyum manis dari pejabat setempat.

Yang jelas, semua perusahaan itu menambang di pulau-pulau kecil. Dan UU No. 1 Tahun 2014 sudah jelas-jelas melarang aktivitas tambang di wilayah dengan luas kurang dari atau sama dengan 2.000 kilometer persegi. Tapi ya, siapa peduli dengan undang-undang kalau tambangnya bisa bawa "cuan"?

Dalam kasus ini, negara tidak tampak seperti pelindung konstitusi. Justru lebih mirip manajer pemasaran yang sedang menawarkan "tanah surga" ke investor. Slogan promosinya kira-kira begini: "Datanglah ke Raja Ampat! Selain lautnya indah, izin tambangnya gampang!"

Kita paham, hilirisasi itu penting. Ekonomi harus tumbuh. Lapangan kerja harus tersedia. Tapi haruskah semua itu mengorbankan ekosistem, merusak laut, menghancurkan rumah ikan, dan mengusir masyarakat adat dari tanahnya sendiri?

Negara seharusnya menjadi pemimpin yang tahu batas. Tapi sayangnya, dalam banyak kasus, negara lebih mirip wasit sepak bola yang diam saja saat pemain kaya main kasar.

Raja Ampat bukan tempat yang bisa dicoret-coret seenaknya oleh tambang. Ia adalah ikon konservasi dunia. Surga bawah laut yang bukan hanya milik Indonesia, tapi juga warisan umat manusia. Menambang di Raja Ampat sama bodohnya seperti mengebor Monas untuk cari minyak goreng.

Tapi pemerintah sempat mengeluarkan izin tambang di wilayah itu. Alasan klasiknya: investasi, hilirisasi, pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, mereka lupa menambahkan satu kalimat penting: "dan kerusakan ekologi sebagai bonus."

Yang lebih lucu lagi, saat kritik datang dari masyarakat sipil dan media, barulah pemerintah terbangun dari tidur panjangnya. Izin-izin itu akhirnya dicabut. Empat dari lima perusahaan kini sudah tidak lagi bisa menambang. Tapi pertanyaannya: kenapa baru sekarang?

Pencabutan izin tambang itu diumumkan usai Presiden Prabowo Subianto menggelar rapat terbatas. Katanya, ini bentuk respons atas keresahan publik. Wah, hebat sekali. Ternyata pemerintah masih bisa mendengar. Tapi sayang, harus menunggu warga negaranya ngomel-ngomel dulu.

Seharusnya, pemerintah tidak perlu menunggu media ribut dan aktivis berteriak. Cukup buka Undang-Undang. Baca baik-baik. Lalu, patuhi. Karena negara tak boleh takluk pada tambang di Raja Ampat. Titik.

Pencabutan izin tambang itu memang layak diapresiasi, tapi bukan berarti kita harus bersyukur berlebihan. Ini bukan kebaikan luar biasa. Ini cuma koreksi atas kesalahan besar yang tak seharusnya terjadi sejak awal.

Kita tidak bisa berhenti pada kasus Raja Ampat saja. Izin-izin tambang lain di pulau-pulau kecil harus segera dievaluasi. Banyak wilayah lain yang mungkin bernasib serupa: diam-diam dijual ke korporasi tambang atas nama investasi.

Dan jangan salah, investasi bukan kata suci. Ia harus dikawal, diawasi, dan diaudit. Kalau tidak, ia akan berubah jadi investasi kehancuran—menguntungkan orang-orang kaya rakus dan meninggalkan kerusakan untuk generasi mendatang.

Sekarang adalah momentum yang tepat bagi pemerintah untuk menghentikan logika kebijakan yang terlalu pro-korporasi dan mulai menyeimbangkan dengan kepentingan ekologis. Karena pada akhirnya, hutan yang rusak dan laut yang tercemar tidak bisa dibeli kembali dengan rupiah.

Mari perjelas satu hal: negara bukan makelar tambang. Negara adalah pengurus rumah besar bernama Indonesia. Tugasnya bukan menjual ruang hidup warga negara ke investor, tapi menjaganya agar tidak dicuri.

Kalau pemerintah serius ingin menjaga masa depan bangsa, maka kebijakan pertambangan harus kembali pada jalur konstitusi dan keadilan ekologis. Karena selama ini, korporasi terlalu mudah menancapkan kuku, dan negara terlalu sering membuka pintu lebar-lebar.

Raja Ampat bukan daerah biasa. Ia tidak bisa diperlakukan seperti tambang biasa. Dan warga Papua bukan pion dalam permainan catur ekonomi nasional.

Sekali lagi, keputusan mencabut izin tambang di Raja Ampat adalah langkah awal. Tapi ia harus disusul oleh langkah-langkah lanjutan. Jangan sampai ini hanya langkah kosmetik untuk meredam kritik publik. Setelah isu reda, tambang jalan lagi dengan nama dan bendera yang berbeda.

Kita tidak butuh sandiwara. Kita butuh kebijakan yang berpihak pada warga negara, bukan pengusaha. Kita butuh regulasi yang dihormati, bukan dilanggar atas nama pertumbuhan ekonomi.

Karena negara tak boleh takluk pada tambang di Raja Ampat, dan tak boleh pula berpura-pura kuat hanya saat ditonton kamera.

Jadi, mari akhiri dengan satu pesan jelas: hentikan praktik tambang ugal-ugalan di wilayah konservasi. Hentikan negara dari menjadi antek korporasi. Dan hentikan pula kebiasaan "sadar" setelah dibentak warganya.

Raja Ampat tidak butuh alat berat. Ia butuh perlindungan. Ia butuh negara yang benar-benar hadir, bukan negara yang cuma datang kalau disorot kamera.

Dan untuk para pejabat yang masih ngotot menambang di surga tropis itu, sebaiknya cari tempat lain. Atau lebih baik, cari pekerjaan lain. Karena menjaga negeri tidak cocok bagi mereka yang pikirannya masih terjebak di kantong tambang.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar