![]() |
Ninik Mamak berjalan keliling desa sambil mengipaskan asap ke warga dalam tradisi Mengasap Negeri di Semurup, Kerinci, Jambi, Rabu (25/6/2025). © Wahdi Septiawan/Antara |
Sore itu, tanggal 25 Juni 2025, suasana Rabu mendadak terasa seperti adegan pembuka film dokumenter National Geographic versi lokal—bedanya, tanpa narasi bahasa Inggris dan tanpa sponsor dari kementerian. Di desa-desa tenang di Kabupaten Kerinci, Jambi—Koto Baru Semurup, Air Tenang, dan Sawahan Jaya—Ngasap Negeri kembali digelar, dengan segala kemeriahan, kesakralan, dan aroma kemenyan yang menusuk kenangan.
Inilah bentuk nyata dari Ngasap Negeri, tradisi adat masyarakat Kerinci yang tak cuma menyiramkan air dan asap ke sudut-sudut rumah, tapi juga ke dalam batin warga yang tiap hari harus hidup di negeri dengan sistem kesehatan seperti sinyal HP: kadang ada, kadang ilusi.
Di tengah dunia yang makin modern, warga Kerinci memilih melindungi diri dengan dua senjata sakral: asap kemenyan dan pedang hulubalang.
Bukan masker medis, bukan booster vaksin, bukan juga aplikasi PeduliLindungi yang kini sudah dilupakan seperti mantan bupati pasca-kasus korupsi.
Hulubalang berpakaian merah, membawa pedang panjang, memimpin rombongan seperti kombinasi pendekar zaman Majapahit dan pemandu arak-arakan religi. Mereka tidak hanya berjalan. Mereka mengusir. Bukan sekadar udara buruk atau energi negatif, tapi juga penyakit, sial, dan—kalau bisa—utang dari koperasi simpan pinjam ilegal.
Ngasap Negeri bukan hanya sekadar membakar kemenyan dan percik air. Ini adalah protokol adat versi premium, lengkap dengan jalur lorong warga, persimpangan sakral, dan seruan adzan yang dilantunkan dengan pengeras suara yang—anehnya—tidak disita Satpol PP.
Di empat persimpangan, adzan dikumandangkan empat kali, sebuah filosofi yang mungkin membuat pejabat kementerian agama menggaruk-garuk kepala: “Kenapa empat? Mana dasarnya?”
Jawabannya sederhana: karena nenek moyang bilang begitu. Dan di negeri yang makin kehilangan nalar kolektif, justru yang diwariskan turun-temurun sering kali lebih masuk akal daripada Peraturan Menteri terbaru yang isinya berubah tiap Kamis.
Ngasap Negeri adalah bagian dari Kenduri Sko, serangkaian 16 tradisi adat yang punya struktur, alur, dan makna lebih rapi dibandingkan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).
Mulai dari berkumpulnya para pemangku adat, balas pantun, sampai arak-arakan ke rumah-rumah warga yang dibuka lebar-lebar, tradisi ini adalah versi spiritual dari rapid test komunitas: tidak terukur hasilnya, tapi bikin warga merasa aman.
Kalau di kota orang-orang takut virus lewat WiFi, di Kerinci orang percaya hal buruk bisa diusir dengan percikan air dan aroma kemenyan. Dan anehnya, itu berhasil. Bukan karena logika medis, tapi karena kepercayaan kolektif lebih kuat dari surat edaran dinas.
Gelar hulubalang diturunkan berdasarkan garis keturunan. Tidak bisa dipilih sembarangan seperti memilih pejabat dengan mekanisme tender terbuka yang hasilnya bisa diprediksi dari siapa yang traktir makan siang.
Seorang hulubalang bukan hanya membawa pedang, tapi juga sejarah, tanggung jawab moral, dan jubah merah yang lebih sakral dari jas pemimpin ormas. Ia tidak disumpah di depan notaris, tapi di hadapan leluhur dan asap kemenyan yang naik perlahan seperti wangi nostalgia.
Saat arak-arakan lewat, warga membuka pintu rumah, membentangkan tikar, dan berharap seluruh masalah—fisik dan metafisik—ikut keluar seperti iklan sabun cuci piring.
Ini bukan sekadar simbol. Ini ritual penuh harapan di tengah realita hidup yang makin absurd. Di saat negara hanya membuka pintu saat musim pemilu, masyarakat Kerinci justru membuka pintu rumahnya demi tradisi yang tak pernah janji akan menghapus kemiskinan, tapi minimal menghapus rasa takut.
Di persimpangan jalan, adzan dikumandangkan. Empat kali di empat titik berbeda. Ini bukan karena loudspeaker baru dibeli dari dana desa, tapi karena ada kesadaran bahwa langkah spiritual harus diawali dengan panggilan Tuhan, bukan undangan zoom meeting dari camat.
Filosofi Ngasap Negeri jelas: segala sesuatu harus bersandar pada agama dan adat. Sebuah kombinasi yang mungkin bikin bingung ahli statistik, tapi membuat tenteram ibu-ibu yang tiap hari bingung antara harga cabe dan masa depan anak-anak.
Setelah arak-arakan dan adzan, masyarakat lanjut dengan Balimau—mandi massal di sungai, sebagai simbol penyucian. Di kota besar, orang mandi bareng itu dilarang, kecuali di kolam renang hotel. Di Kerinci, ini ritual.
Air sungai menjadi saksi bahwa warga mencoba membersihkan diri, bukan hanya dari kotoran, tapi juga dari tekanan sosial, tagihan listrik, dan notifikasi utang dari aplikasi pinjaman online.
Di saat dunia menggilai AI, blockchain, dan TikTok berdurasi 15 detik, warga Kerinci tetap percaya pada asap, air, pantun, dan adzan. Dan itu tidak masalah. Justru itu pengingat bahwa kemajuan teknologi bukan satu-satunya jalan menuju keselamatan.
Ketika warga kota sibuk berdebat soal siapa presiden, warga desa sibuk membentangkan tikar dan menyambut hulubalang. Keduanya mungkin tidak menyelesaikan masalah, tapi yang satu membawa damai, yang lain membawa debat tak berujung.
Tradisi ini berlangsung setiap lima tahun sekali, lebih teratur dari distribusi bansos dan lebih ditunggu-tunggu daripada kunjungan menteri.
Dan hingga kini, Ngasap Negeri tetap hadir, tetap disambut, dan tetap dipercaya. Karena meski dunia berubah, masyarakat tetap butuh rasa aman. Dan kalau rasa aman tak bisa dibeli di apotek atau dicetak dalam kebijakan, maka mereka akan menciptakannya dari kemenyan, pedang, dan doa.