![]() |
Ari Lesmana. © Fathurrozak Jek/Antara |
Kadang hidup memang suka bercanda. Lihat saja nasib lagu Mangu milik Fourtwnty. Dirilis tahun 2022, sempat lewat begitu saja tanpa banyak tepuk tangan. Tapi entah angin TikTok mana yang berembus di 2025, tiba-tiba lagu itu viral, jadi backsound sejuta video galau, dan membuat nama Ari Lesmana — vokalis sekaligus penulis lagunya — kembali terangkat ke permukaan. Dunia maya memang sering aneh, tapi yang ini... absurdnya mengandung keindahan.
Lagu Mangu milik Fourtwnty viral di TikTok bukan karena promosi gila-gilaan atau gimmick marketing sok edgy. Lagu itu naik kelas justru lewat video polos Ari nyanyi di pojokan pusat perbelanjaan, dengan caption nyeleneh soal partner duetnya lagi sariawan. Simpel. Real. Dan justru karena itu, ngena.
Awalnya lagu ini hanya penghuni tenang di album Fourtwnty, semacam anak tengah yang dilupakan, ditaruh di rak paling bawah, dan dilap pakai kain pel. Tapi di era di mana TikTok bisa mengubah kucing ngeong jadi seleb, ternyata lagu mellow dan sunyi pun bisa jadi banger.
Jangan salah paham. Lagu ini bukan tiba-tiba muncul lalu meledak kayak popcorn. Mangu itu hasil fermentasi rasa yang lama dan penuh kesabaran. Setelah seribu hari sejak dirilis, Mangu mendadak muncul di linimasa TikTok lewat video sederhana yang bikin hati lumer.
Ari Lesmana, dengan wajah sendunya, nyanyi bagian chorus yang aslinya dinyanyiin Charita Utami. Caption-nya? "@charitamy lagi sariawan". Dan boom! TikTok pun bekerja seperti mantra. Video itu di-remix, di-duet, dijadikan latar kisah patah hati, perpisahan, bahkan sampai video kucing melamun di jendela.
Apa yang terjadi kemudian? Lagu ini bukan cuma trending di Indonesia. Tapi juga nembus daftar Top 10 Spotify Global, prestasi yang belum pernah dicicipi lagu Indonesia sebelumnya. Seketika jadwal manggung Fourtwnty padat lagi, mereka diundang ke mana-mana, bahkan omongan Ari soal capek pun dikutip bak kutipan suci di carousel Instagram:
Jangan jadikan capek sebagai alasan buat jadi egois. Semua orang itu capek.
Mangu, lagu yang tidak sok jadi lagu hits. Lagu ini tak lahir dari dapur label yang sibuk ngitung-ngetung engagement rate. Ia muncul dari kejujuran paling sederhana. Ari menulis lagu ini dari cerita pasangan sahabatnya yang harus pisah gara-gara beda keyakinan. Bukan untuk bikin baper massal, tapi karena memang hidup kadang brengsek dan cinta kadang kalah sama doktrin.
Dan alih-alih teriak-teriak menyalahkan nasib, Mangu memilih untuk menyanyikan luka dengan pelan. Sunyi. Seperti orang yang sudah terlalu letih buat marah, tapi masih cukup waras untuk tidak putus asa. Itu sebabnya lagu ini nyantol ke hati banyak orang. Karena kita semua pernah ada di titik itu—ketika cinta harus dilepas, bukan karena tak cinta, tapi karena hidup punya jalan yang aneh.
Yang lebih ajaib lagi, viralitas Mangu justru terjadi ketika Fourtwnty sedang... vakum. Iya, vakum. Pada Februari 2025, mereka umumkan hiatus. Bukan karena berantem atau ketahuan korupsi THR, tapi karena mereka butuh jeda. Butuh napas. Butuh ruang untuk tidak jadi musisi dulu.
Namun lucunya, justru di saat mereka diam, karya mereka bersuara keras. Ironi ini terlalu indah untuk dilewatkan. Diam-diam, lagu mereka nyusup ke jutaan telinga, jadi suara bagi mereka yang merasa tak terdengar. Bahkan mungkin, karena mereka diam, lagu itu terdengar makin jernih.
Mereka seperti berkata, “Kami nggak usah ngomong banyak. Lagu kami yang bicara.” Dan nyatanya, lagu itu bicara dengan sangat lantang.
Kalau biasanya TikTok dikenal sebagai platform tempat joget-joget viral, Mangu membuktikan bahwa platform ini juga bisa jadi ruang refleksi. Tempat curhat berjamaah. Tempat menemukan orang-orang yang sama-sama pernah ditinggal tanpa alasan yang jelas.
Warganet, terutama Gen Z yang katanya mudah bosan, justru jatuh cinta dengan lirik dan nuansa Mangu. Mereka menemukan fragmen hidupnya di sana. Mereka tidak disuruh ikut challenge, tidak disuruh repost giveaway, mereka cuma... merasa cocok. Dan karena cocok, mereka bagikan.
TikTok bukan cuma algoritma, tapi ekosistem rasa. Dan dalam ekosistem itu, lagu seperti Mangu—yang tulus, pelan, dan jujur—punya tempat yang spesial. Ia tidak berteriak. Ia hanya hadir. Dan kehadiran yang tidak memaksa justru yang paling lama tinggal.
Charita Utami, kolaborator di lagu ini, ikut kena imbas viral. Tatapan sendunya disorot warganet sebagai simbol kedalaman rasa. Bukan gimmick. Bukan akting. Tapi ekspresi orang yang paham betul makna dari setiap bait yang ia nyanyikan.
Begitu pula Ari. Ekspresi polosnya bukan settingan. Itu wajah orang yang sudah terbiasa kecewa tapi tetap memilih untuk percaya. Dan mungkin, kita semua sedang ter-Mangu. Bukan hanya karena lagunya indah, tapi karena ia datang di saat dunia sedang terlalu bising untuk didengar. Dan Mangu menawarkan diam yang menenangkan.
Di tengah industri yang serba cepat, serba hype, dan serba konten, kisah Mangu seperti penegasan bahwa tidak semua yang lambat itu salah. Bahwa tidak semua harus viral dalam semalam. Bahwa kejujuran, bahkan dalam bentuk paling sederhana, tetap bisa menembus pasar global.
Fourtwnty mungkin bukan band yang sibuk cari sorotan. Mereka tak pakai kostum aneh, tak joget di TikTok, tak bikin drama murahan. Tapi mereka membuktikan, lagu yang lahir dari hati akan sampai ke hati. Dan kadang, hati butuh waktu.
Jadi, kalau hari ini kamu merasa belum didengar, belum dipahami, atau belum dihargai, ingatlah cerita Mangu.