![]() |
Pedagang berjualan melalui siaran langsung di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Senin (11/12/2023). © Cahya Sari/Antara |
Rencana pemerintah untuk mewajibkan platform marketplace memotong pajak pedagang online terdengar seperti ide cemerlang dari buku pelajaran ekonomi otoriter: ambil yang lemah, paksa yang bingung, lalu beri tahu publik bahwa semuanya demi keadilan fiskal. Dengan dalih "menaikkan kepatuhan pajak", pemerintah kini tampak bersiap menjadikan pelapak daring sebagai tumbal target penerimaan negara.
Kebijakan ini akan menggunakan mekanisme PPh Pasal 22, di mana marketplace harus memotong pajak penghasilan pedagang yang memiliki omzet antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar. Artinya, jika kamu jualan mukena, bakso instan, atau bahkan sabun pemutih di beberapa platform, lalu omzetmu total segitu—siap-siap dipotong 0,5 persen langsung dari penjualanmu, tanpa banyak tanya.
Sederhananya: negara kini minta tolong pada Tokopedia, Shopee, Bukalapak, dan kawan-kawan untuk menjadi kolektor pajak sukarela—dengan ancaman sanksi bila lalai.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak sepertinya terinspirasi oleh ide luhur: “Kenapa memungut pajak sendiri kalau bisa menyuruh orang lain melakukannya?” Maka jadilah platform e-dagang disulap menjadi alat pemungut PPh, tak ubahnya seperti juru tagih utang dalam drama keluarga.
Masalahnya, marketplace bukan badan fiskal. Mereka tidak punya otoritas hukum untuk menentukan berapa sebenarnya penghasilan bersih para pedagang. Mereka hanya punya data transaksi—dan itu pun terbatas. Seorang pedagang bisa punya akun di lima marketplace, satu toko Instagram, dan warung depan rumah. Lantas, siapa yang bisa menakar pendapatan sebenarnya?
Pertanyaannya sekarang: Kalau pedagang punya penghasilan dari banyak kanal, lalu marketplace harus potong PPh dari mana? Harus jadi cenayang?
Sayangnya, pertanyaan ini tampaknya tidak masuk ke dalam notula rapat lintas kementerian.
Tidak hanya soal data dan sistem, beban moral serta biaya teknis pun dilemparkan ke pundak marketplace. Mereka kini diminta membangun sistem pendataan pedagang, mengawasi kepatuhan, sekaligus menyiapkan mekanisme pelaporan dan pembayaran ke kas negara.
Mirip dengan permintaan negara kepada pengelola pasar tradisional: “Tolong, laporkan siapa saja yang jualan tempe, dan pastikan mereka setor pajak dari hasil jualannya minggu lalu.”
Lucunya, pengelola pusat perbelanjaan—yang notabene punya akses lebih jelas terhadap para tenant—tidak diberi beban serupa. Kenapa? Mungkin karena mereka punya gedung, bukan algoritma.
Jika pajak ini langsung dipotong dari hasil penjualan per transaksi, maka dampaknya bisa seperti memberi batu bata di punggung UMKM yang sudah pincang.
Ada lima tantangan yang mungkin luput dari radar Satelit Pajak Nasional:
- Keseimbangan antara kepatuhan dan keberlangsungan UMKM.
- Sulitnya menjangkau seluruh pedagang daring-luring yang tersebar.
- Tumpang tindihnya batasan penghasilan bruto antara platform berbeda.
- Biaya kepatuhan tambahan bagi platform e-dagang yang dipaksa jadi petugas pajak.
- Ketidaksesuaian status marketplace sebagai intermediary dengan UU HPP.
Seakan belum cukup, implementasi PPh Pasal 22 ini juga membuka risiko pemajakan ganda. Seorang pedagang bisa terkena pemotongan dari platform dan tetap harus membayar PPh final 0,5 persen di akhir tahun. Ini seperti ditilang dua kali karena parkir di tempat yang sama.
Pemerintah berdalih bahwa pemungutan pajak ini bukan pajak baru. Ini hanya bentuk pengalihan dari pembayaran mandiri ke sistem pungut otomatis. Seperti halnya ketika gaji dipotong otomatis untuk bayar BPJS, tapi tanpa janji pelayanan kelas satu.
Ditjen Pajak mengatakan bahwa semua ini sudah melalui dialog bersama pelaku industri. Tapi jika kamu tanya para pelaku, mereka belum lihat draf, belum tahu kapan mulai, dan belum paham skemanya.
Bukankah lucu? Pemerintah merasa sudah berdialog, sementara industri masih kebingungan siapa yang bicara apa dan kapan.
Jika rencana ini dijalankan tanpa infrastruktur data yang kuat dan koordinasi lintas platform, hasilnya bisa ditebak: kekacauan administratif, penghindaran pajak gaya baru, serta migrasi pedagang ke kanal informal dan underground.
Tapi, bagi negara yang lebih suka menerapkan kebijakan dengan filosofi “coba dulu, minta maaf belakangan”, semua itu bukan masalah. Yang penting grafik penerimaan pajak naik—meski yang menjerit adalah warga negaranya yang justru membangun ekonomi digital dari bawah.
Marketplace adalah wadah transaksi, bukan bendahara negara. Mereka mengelola logistik, promosi, dan pengalaman pengguna. Memaksa mereka memungut pajak sama saja seperti menyuruh ojek online jadi penagih iuran RT.
Ironi terbesar adalah ketika negara bicara soal "ekonomi digital inklusif", tapi regulasi yang muncul justru eksklusif, membingungkan, dan penuh jebakan birokrasi.
Bukannya memudahkan UMKM untuk naik kelas, negara justru menyodorkan pasal dan potongan.
Jika tujuannya adalah keadilan fiskal, kenapa tidak dimulai dari sektor besar yang jelas-jelas menghindar pajak lewat skema multinasional? Kenapa bukan konglomerat pemilik saham startup yang bebas bermain pajak lewat tax haven?
Mungkin karena lebih mudah memungut dari yang kecil dan diam, daripada mengejar yang besar dan punya kuasa hukum.
Maka, saat nanti kamu melihat biaya admin naik, omzet turun, dan toko tutup pelan-pelan, jangan heran. Mungkin bukan karena kamu gagal berbisnis—tapi karena bisnismu dijadikan alat pungutan, bukan ekosistem yang ingin dibina.
Rencana pemungutan pajak pedagang online melalui marketplace bukan hanya soal uang. Ini adalah cerminan bagaimana negara melihat warga negaranya: sebagai angka, target, dan objek fiskal yang bisa digeser-geser.
Dalam dunia di mana satu klik bisa mengubah penghasilan, negara masih berkutat pada potongan per transaksi. Dalam zaman big data, yang diandalkan justru sistem pungutan manual oleh pihak ketiga.
Begitulah wajah kebijakan fiskal kita: digital di presentasi, analog di pelaksanaan, dan absurd dalam logika.
Selamat datang di Indonesia: di mana pajak adalah bentuk cinta negara, tapi dengan nada ancaman dan surat peringatan.