Langkah bijak nan kreatif telah diambil pemerintah: pemerintah gunakan SAL Rp 85,6 triliun untuk menambal lubang defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang kini makin menganga seperti tambang batu bara terbuka. Bukannya panik, negara memilih bersikap bijak: daripada utang baru, lebih baik kita pakai saldo sisa masa lalu. Karena apa artinya kenangan, kalau tidak bisa menyelamatkan masa depan?
Sri Mulyani, Menteri Keuangan sekaligus penjaga utama dompet negara, menyampaikan kabar ini di hadapan DPR. Menurutnya, defisit APBN 2025 berpotensi mencapai Rp 662 triliun atau 2,78 persen dari PDB. Jauh dari target awal yang hanya Rp 616,2 triliun. Seperti biasa, penyebab utamanya: target pendapatan negara yang tak kunjung kesampaian. Rupanya negara juga bisa mengalami “ghosting” dari pajak.
Pendapatan negara diperkirakan cuma mencapai Rp 2.865,5 triliun, padahal targetnya Rp 3.005,1 triliun. Seperti peserta lomba lari yang gagal finish, kita hanya sampai 95,8 persen. Pajak, penyumbang utama negara, juga masih pemalu: hanya memberi Rp 2.076,9 triliun dari target Rp 2.189,3 triliun. Sementara itu, PNBP seperti biasa ikut-ikutan: hanya 92,9 persen dari target.
Namun tak semua berita buruk. Bea cukai ternyata overachiever: mereka memberikan penerimaan 102,9 persen dari target. Pahlawan tak selalu pakai jubah, kadang mereka mengenakan seragam pegawai Bea Cukai.
Dan hibah? Luar biasa. Dari target Rp 600 miliar, kita dapat Rp 1 triliun. Siapa bilang mengandalkan kebaikan hati orang lain itu tidak produktif?
Pemerintah gunakan SAL Rp 85,6 triliun karena uang dari masa lalu bisa sangat membantu ketika masa kini sedang krisis. SAL, akronim indah dari Saldo Anggaran Lebih, adalah sisa-sisa keuangan dari tahun-tahun lalu. Bisa dikatakan, ini seperti uang receh di celana lama, tapi dalam skala triliunan.
Per akhir 2024, total SAL mencapai Rp 457,5 triliun. Sungguh menenangkan mengetahui negara kita punya “tabungan rahasia” seperti nenek-nenek menyimpan uang di toples biskuit.
Menurut Sri Mulyani, SAL adalah bantalan fiskal di tengah badai transisi kekuasaan dan gejolak global. Mungkin suatu hari, SAL akan punya akun media sosial sendiri, dengan bio: “Sahabatmu di kala defisit.”
Selain menggunakan SAL, pemerintah juga membuka blokir anggaran sebesar Rp 134,9 triliun. Tentu bukan karena keuangan mendadak sehat, melainkan karena prioritas Presiden Prabowo perlu dibayar—dan anggaran tak bisa terus-terusan diam seperti akun medsos DPR saat rakyat marah.
Anggaran yang tadinya “dikunci”, kini dibuka dengan penuh perhitungan. Bukan untuk kegiatan lama, tetapi disesuaikan dengan agenda presiden: dari pembangunan infrastruktur hingga urusan ketahanan energi dan pangan. Artinya: bukan sekadar dibuka, tapi dialokasikan ulang dengan penuh cinta dan ketelitian. Semoga begitu.
Penghematan belanja lewat Inpres No 1/2025 juga berjalan mulus. Pemerintah berhasil “menahan diri” sebesar Rp 306,7 triliun. Karena belanja negara pun, seperti diet menjelang lebaran, kadang harus diketatkan agar baju APBN tetap muat.
Paket stimulus yang dikucurkan bisa memperdalam defisit. Tapi hei, siapa bilang pembangunan itu tidak menyakitkan? Bahkan ekonomi pun harus rela berdarah sedikit untuk tumbuh lebih tinggi. Atau setidaknya itu yang selalu dibilang ketika anggaran membengkak.
Meskipun defisit belum menyentuh 3 persen dari PDB, tetap saja, negara tak boleh terlalu bahagia. Karena euforia fiskal, seperti euforia pesta ulang tahun, sering meninggalkan tumpukan utang di hari berikutnya.
Defisit yang tak terkendali bisa memicu inflasi dan menaikkan biaya utang. Solusinya? Disiplin fiskal. Frasa indah yang terdengar seperti saran dari guru akuntansi, tapi jarang dilakukan ketika musim politik datang.
Inti dari semuanya adalah satu kalimat emas: pemerintah gunakan SAL Rp 85,6 triliun agar tidak perlu utang baru sebanyak-banyaknya. Ini seperti berusaha menyekolahkan anak sampai kuliah dengan sisa THR lebaran tahun lalu. Mulia, penuh pengorbanan, dan tentu saja: penuh risiko.
Namun upaya ini patut diapresiasi. Di tengah situasi global yang tak menentu, dari harga minyak hingga perang dagang yang bisa muncul kapan saja, Indonesia setidaknya mencoba bertahan dengan sisa-sisa kewarasan anggaran.
Meskipun angka-angka tampak mengkhawatirkan, narasi tetap dikendalikan oleh semangat positif. Pemerintah menyampaikan bahwa semua keputusan fiskal ini diambil dengan pertimbangan penuh, melalui kalkulasi teknokratik, bukan sekadar ilham malam Jumat.
Langkah penggunaan SAL adalah bentuk manajemen kas yang kreatif. Seperti orang tua yang mengandalkan sisa uang arisan untuk bayar cicilan motor. Tidak mewah, tapi realistis. Dan itulah politik anggaran kita: paduan antara perencanaan jangka panjang dan improvisasi jangka pendek.