Tradisi malam 1 Suro dan pencucian Batu Manik di Kediri

Tradisi pencucian Batu Manik tiap malam 1 Suro jadi ritual sakral warga Kediri, antara spiritualitas, budaya, dan bisnis ziarah.

Tradisi malam 1 Suro dan pencucian Batu Manik di Kediri. © Prasetia Fauzani/Antara
Sejumlah peziarah mencuci Batu Manik di Petilasan Raja Kediri Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Kamis (26/6/2025). © Prasetia Fauzani/Antara

Menjelang malam 1 Suro, atmosfer Desa Menang di Kabupaten Kediri berubah drastis. Jalan-jalan yang biasanya tenang mendadak macet oleh iring-iringan peziarah spiritual, para pemuja keheningan, dan rombongan influencer TikTok yang siap menangkap momen sakral—atau setidaknya konten yang cukup viral. Tradisi malam 1 Suro, khususnya pencucian Batu Manik di petilasan Raja Kediri Sri Aji Jayabaya, kembali dilaksanakan Kamis, 26 Juni 2025. Karena apa artinya keabadian budaya tanpa disematkan dalam video 15 detik berlatar musik sendu?

Batu Manik, batu yang konon memiliki nilai spiritual tinggi dan tidak bisa dipesan di e-commerce manapun, menjadi pusat perhatian. Sejak pagi, para peziarah berdatangan membawa harapan, doa, dan tentunya kamera ponsel berkualitas tinggi. Mereka dengan penuh khusyuk menyaksikan proses pembersihan batu keramat itu, yang dipercaya punya hubungan langsung dengan Raja Jayabaya—raja legendaris yang dikenal bukan karena rekening offshore atau program makan gratis, melainkan karena Jangka Jayabaya, ramalan masa depan yang membuat peramal zodiak tampak seperti anak TK.

Tradisi malam 1 Suro bukanlah perkara main-main. Ia adalah momen kontemplatif, saat warga berkumpul, berdoa, dan—kalau sempat—update status. Tradisi ini menandai pergantian tahun dalam kalender Jawa, yang secara sopan dan penuh tata krama mengadopsi sistem kalender Hijriah. Semua berkat Sultan Agung Hanyakrakusuma yang pada 8 Juli 1633 memutuskan, “Kenapa tidak kita gabungkan saja dua sistem kalender ini, biar anak cucu kita bisa bikin banyak konten sejarah lintas budaya?”

Dan hasilnya? Setiap 1 Suro, warga Jawa—terutama yang mengaku spiritual—menahan diri dari pesta, konser, atau cicilan iPhone terbaru. Sebaliknya, mereka memilih diam, tirakat, atau membersihkan benda pusaka yang mungkin sudah lama menganggur di lemari. Semua demi menyucikan diri, memperbaiki hidup, dan berharap tahun depan lebih baik... atau minimal lebih tenang dari sinetron keluarga di televisi nasional.

Di Kediri, tradisi pencucian Batu Manik ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi juga semacam audit spiritual. Batu itu, yang tak pernah protes saat dicuci berkali-kali setiap tahun, dianggap sebagai simbol kejernihan, pengharapan, dan—dalam beberapa kasus ekstrem—sinyal bahwa Anda butuh retreat spiritual, bukan staycation di Bali.

Kita tidak bisa menafikan bahwa di balik kesakralan malam 1 Suro, ada denyut ekonomi yang tak kalah spiritual. Warung-warung dadakan bermunculan di sekitar petilasan, menawarkan mulai dari bunga tabur, dupa wangi, hingga mi instan rasa ramalan masa depan. Para pedagang lokal tahu betul: di balik ziarah, ada rejeki yang mengalir. Dan bukankah itu juga bagian dari keberkahan?

Sementara itu, Batu Manik tetap diam di tempatnya, menjadi pusat perhatian, simbol kekuatan spiritual, dan bintang utama dari ribuan unggahan Instagram. Beberapa bahkan menyebutnya “influencer batu pertama di Indonesia.” Tidak salah juga, mengingat tingkat engagement-nya yang tinggi.

Tradisi malam 1 Suro sejatinya mengajak kita untuk merenung: apakah kita sudah cukup bersih secara spiritual? Apakah dalam setahun terakhir kita lebih sering mencuci hati atau mencuci uang? Apakah kita masih ingat berdoa sebelum makan, atau hanya ingat memotret makanan sebelum menyantapnya?

Pencucian Batu Manik adalah metafora yang luar biasa. Bayangkan, sebuah batu diam-diam menanggung beban spiritual ribuan orang, sementara manusia kadang kesulitan menanggung beban komentar netizen. Maka tak heran, banyak yang datang ke petilasan bukan hanya mencari ketenangan, tetapi juga pelarian dari dunia yang makin ribut tapi kosong makna.

Salah satu sesepuh desa bahkan mengatakan, “Ini bukan cuma soal budaya, tapi juga soal menjaga hubungan kita dengan Tuhan.” Pernyataan ini sangat menyentuh, apalagi jika kita ingat bahwa beberapa dari kita terakhir kali berdoa dengan sungguh-sungguh adalah saat Wi-Fi rumah mati.

1 Suro tidak mengajarkan kita untuk menjadi eksklusif, apalagi mistis. Ia justru mendorong kita untuk berhenti sejenak, berpikir jernih, dan merancang hidup yang lebih berfaedah. Tapi jangan salah, spiritualitas tak harus menjauh dari sinyal. Bukankah lebih baik bermeditasi sambil tetap bisa buka e-wallet? Siapa tahu, aplikasi donasi amal bisa jadi jembatan spiritual modern.

Masyarakat Jawa menyambut bulan Suro dengan doa bersama, tirakat, dan tradisi turun-temurun lainnya, bukan karena ingin viral, tapi karena mereka tahu: hidup perlu dihayati, bukan sekadar dijalani. Dan jika bisa diwariskan dalam bentuk tradisi kolektif, kenapa tidak?

Tentu saja, tradisi seperti malam 1 Suro bisa berkembang mengikuti zaman. Beberapa komunitas sudah mulai membuat e-book doa-doa malam Suro, podcast tentang makna spiritual batu, dan tentu saja filter Instagram bertema keramat. Jangan kaget jika suatu hari nanti Batu Manik memiliki akun media sosial sendiri, lengkap dengan caption bijak dan jadwal pencucian tahunan.

Namun di balik segala ironi itu, tetap ada harapan: bahwa tradisi tidak hanya dijaga untuk dikenang, tapi juga untuk hidup dalam praktik keseharian. Bahwa kita bisa membersihkan hati sambil tetap tersambung ke cloud. Bahwa warisan leluhur bisa tetap relevan tanpa harus jadi pariwisata spiritual belaka.

Malam 1 Suro, dalam segala kesederhanaannya, mengingatkan kita bahwa hidup bukan hanya tentang kecepatan, pencapaian, atau tren. Tapi tentang kembali ke akar: siapa kita, dari mana kita datang, dan mau ke mana kita berjalan—dengan atau tanpa pencucian batu.

Tradisi malam 1 Suro bukan museum budaya. Ia adalah pengalaman hidup yang menolak mati, meski digempur oleh algoritma dan konten instan. Dan di tengah dunia yang terlalu sibuk untuk merenung, barangkali tradisi ini adalah suara pelan yang justru paling keras: jangan lupa pulang ke dalam diri sendiri.

Lainnya

Tentang

Novanka Laras
Laras di sini menulis seni dan budaya.

Posting Komentar