Hukuman Setya Novanto dipotong MA

Putusan Peninjauan Kembali kurangi hukuman Setya Novanto dari 15 jadi 12,5 tahun, publik mempertanyakan logika efek jera.

Hukuman Setya Novanto dipotong Mahkamah Agung. © Puspa Perwitasari/Antara
Terpidana korupsi proyek KTP Elektronik, Setya Novanto, kembali menghiasi ruang sidang saat memberikan kesaksian dalam lanjutan perkara serupa dengan terdakwa Markus Nari di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (2/10/2019). © Puspa Perwitasari/Antara

Pada suatu pagi yang cerah di Negeri Wakanda bagian Selatan, rakyat tengah sibuk menebak-nebak harga cabai dan mengisi ulang pulsa, ketika kabar penting mengguncang jagat hukum yang telah lama setengah terjaga—Mahkamah Agung (MA) resmi memangkas hukuman Setya Novanto. Ya, sang legenda mobil ambulans, aktor tunggal drama tabrak tiang listrik, kini hanya perlu meringkuk di balik jeruji besi selama 12,5 tahun. Dulu 15 tahun. Sekarang tinggal 12,5. Sisanya, katanya, bonus loyalitas.

Hukuman Setya Novanto yang semula dijatuhkan karena korupsi proyek KTP elektronik bernilai Rp 2,3 triliun itu memang sudah lama jadi bahan evaluasi nasional. Evaluasinya bukan soal keadilan, tapi soal teknik sinetron: bagaimana membuat drama hukum yang terus punya sekuel, prekuel, dan spin-off, bahkan setelah vonis final.

Dalam dunia ritel, akhir tahun selalu membawa diskon. Ternyata, dalam dunia peradilan, akhir masa pidana pun bisa membawa “diskon”. Peninjauan Kembali atau PK, sebuah mekanisme hukum yang semestinya luar biasa, telah menjelma jadi kartu member platinum. Hanya dengan sedikit usaha dan pengacara yang rajin berdoa, siapa pun bisa mencicipi keringanan.

Putusan PK Setya Novanto diumumkan lewat perkara nomor 32 PK/Pid.Sus/2020. Isinya singkat dan manis: “Kabul.” Dengan itu, masa hukuman sang mantan Ketua DPR pun dikorting 2,5 tahun. Tidak lupa, bonus tambahan berupa pencabutan hak politik yang juga dipangkas: dari 5 tahun menjadi hanya 2,5 tahun. Ini semacam program promo “Buy 1 Sentence, Get Half Discount.”

Tentu, tidak ada yang instan dalam urusan hukum. Apalagi kalau menyangkut orang besar. Permohonan PK Setya Novanto diajukan Januari 2020. Putusan keluar Juni 2025. Hanya butuh lima tahun, empat bulan, dan 29 hari. Cepat atau lambat? Tergantung. Dalam kecepatan siput yang pusing, ini jelas rekor.

Lucunya, alasan yuridis dan bukti baru yang digunakan sebagai dasar pemotongan hukuman belum juga dibuka ke publik. Transparansi tampaknya hanya berlaku untuk aplikasi ojol dan e-commerce. Dalam dunia hukum, transparansi hanyalah sebuah mitos yang lebih langka dari unicorn berjilbab.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pihak yang dulu berpeluh mengejar dan membongkar skandal ini, kini hanya bisa menggeleng. Mereka bicara tentang efek jera, seakan efek jera itu masih relevan di negeri yang memperlakukan korupsi seperti pelanggaran lalu lintas ringan.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mencoba tetap elegan. Ia menyebut efek jera sebagai tujuan utama penegakan hukum. Tapi, seperti biasa, ketika ditanya apakah tren pemotongan hukuman ini bakal memperlemah pemberantasan korupsi, jawabannya diplomatis: ajak publik untuk ikut mengawasi. Kalau begitu, mari rakyat juga ikut jadi hakim. Bukankah hukum untuk semua?

Tren PK ini semakin mirip jalan tol bagi koruptor. Bukan koreksi hukum, tapi celah hukum. Data Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan bahwa 272 PK diberikan untuk terpidana korupsi pada 2024. Sebanyak 39 persen dikabulkan. Angka ini sepertinya lebih tinggi dari tingkat kelulusan CPNS.

Putusan MA atas Setya Novanto menambah daftar panjang alumni penjara korupsi yang mendapatkan diskon. Sebelumnya ada Edhy Prabowo, yang juga ahli dalam seni remisi. Ada pula Fahmi Darmawansyah, yang dikenal lebih akrab dengan ruang karaoke di lapas ketimbang ruang sel.

PK pun bukan lagi Peninjauan Kembali, tapi "Peluang Keringanan". Hukum telah menjelma jadi semacam bazar diskon: siapa cepat dan cerdas membaca celah, dia menang.

Sementara publik bertanya-tanya, Partai Golkar tampak sumringah. Wakil Ketua Umum partai kuning itu, menyambut putusan MA dengan suka cita. Menurutnya, Setya Novanto adalah mantan Ketua Umum yang layak diberi keringanan karena sudah berkelakuan baik.

Ini seperti memberi penghargaan “Siswa Teladan” kepada murid yang baru saja tertangkap mencontek, karena setelah itu dia rajin absen. Sikap baik selama dipenjara, seolah jadi kriteria pengampunan, bukan kejahatan yang dilakukan.

Dengan logika ini, koruptor masa depan hanya perlu dua hal: uang yang cukup untuk menyewa pengacara terbaik dan sikap manis saat di penjara. Selebihnya, hukum bisa dinegosiasikan seperti harga di pasar malam.

Di balik semua ini, Lapas Sukamiskin di Bandung tetap tenang. Di tempat inilah Setya Novanto saat ini merenungi masa lalu—atau mungkin sedang mempersiapkan masa depan politik. Siapa tahu? Dalam dunia yang ajaib ini, narapidana korupsi bisa saja bangkit sebagai tokoh politik baru. Toh masa larangan jabatannya pun sudah dipotong juga.

Bahkan, dengan kalkulasi remisi dan potongan masa tahanan, Setya Novanto mungkin bebas sebelum generasi TikTok tumbuh dewasa. Ia bisa kembali ke panggung politik, mungkin sebagai calon legislatif, atau motivator bertajuk “Cara Keluar dari Masalah Hukum dan Tetap Eksis.”

Kisah ini menyempurnakan genre baru dalam hukum Indonesia: sinetron hukum. Episode demi episode menyuguhkan plot twist, karakter antagonis yang bertransformasi jadi protagonis, dan penonton yang tidak pernah diminta pendapatnya.

Jika hukum adalah panggung sandiwara, maka drama Setya Novanto adalah lakon klasik yang pantas dipentaskan ulang. Kali ini, dengan sentuhan lebih satire dan lebih pahit. Rakyat mungkin bosan, tapi penulis skenario di balik layar tampaknya belum kehabisan ide.

Dan, sebagaimana layaknya sinetron, kita tahu bahwa keadilan bukanlah akhir dari cerita. Yang penting, rating tetap tinggi, dan aktor utamanya selalu punya jalan pulang.

Hukuman Setya Novanto dipotong MA menandai babak baru dalam telenovela hukum Indonesia. Efek jera kini lebih terasa sebagai efek komedi. Publik boleh bersuara, tapi yang memegang remote tetap orang-orang yang duduk di balik meja keputusan. Sementara itu, rakyat disarankan tetap siaga: bukan untuk mengawasi hukum, tapi untuk menjaga nalar agar tidak ikut dipotong separuh.

Lainnya

Posting Komentar