![]() |
Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan pidato saat rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/3/2025). © Rivan Awal Lingga/Antara |
Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan bahwa lembaga legislatif akan menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal secara kolektif. Hal ini disampaikan Puan usai Mahkamah Konstitusi resmi membacakan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu nasional dan daerah harus dipisahkan dengan jeda waktu minimal dua tahun hingga maksimal dua tahun enam bulan.
Dalam keterangan pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, Puan Maharani menyebutkan bahwa seluruh fraksi partai politik yang ada di DPR akan mengkaji bersama dampak putusan tersebut, baik terhadap sistem politik nasional maupun kesiapan teknis pemilu ke depan.
"Semua partai kami juga pimpinan terdiri dari partai-partai politik. Masih mengkaji, terkait dengan kebutuhan di internalnya masih mengkaji," ujar Puan.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa putusan MK ini bukan sekadar isu prosedural, melainkan memiliki konsekuensi politik besar terhadap semua partai politik, terutama dalam menyiapkan strategi elektoral dan logistik kampanye.
Puan Maharani juga menjelaskan bahwa proses pengambilan sikap oleh DPR tidak akan dilakukan secara sepihak oleh pimpinan lembaga legislatif, tetapi melalui koordinasi intensif di tingkat fraksi dan partai. Menurut dia, komunikasi antarpartai akan dilakukan baik secara formal dalam rapat resmi, maupun secara informal untuk membangun pemahaman bersama.
"Sama-sama berbicara, bersama, untuk menyatakan pendapat kami. Bersama-sama terkait dengan putusan MK ini," lanjutnya.
Dengan menggunakan kata “bersama” secara berulang, Puan menekankan pentingnya kesatuan sikap di tengah tantangan baru yang dihadirkan oleh pemisahan jadwal pemilu. Langkah ini dinilai penting agar tidak terjadi ketimpangan atau kekacauan dalam pelaksanaan pemilu serentak yang selama ini sudah menjadi tradisi pascareformasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo pada Kamis, 26 Juni 2025, menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah harus dilakukan secara terpisah dengan jeda waktu tertentu. Pemilu nasional meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, dan DPD. Sementara itu, pemilu lokal atau daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota).
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ujar Suhartoyo saat membacakan amar putusan di ruang sidang pleno MK.
Putusan ini secara substantif membatalkan prinsip pemilu serentak nasional dan lokal seperti yang diterapkan pada Pemilu 2019 dan 2024, yang dalam praktiknya menimbulkan beban kerja luar biasa bagi penyelenggara pemilu, serta risiko kerumitan administratif dan logistik.
Meski putusan MK dimaksudkan untuk menyederhanakan pelaksanaan pemilu dan mengurangi kompleksitas logistik, tidak sedikit pihak yang justru mengkhawatirkan dampak sebaliknya. Pemisahan waktu antara pemilu nasional dan lokal berpotensi memperpanjang suhu politik dan meningkatkan biaya politik secara signifikan.
Puan Maharani dalam pernyataannya belum secara eksplisit menyatakan dukungan atau penolakan terhadap putusan tersebut. Namun, ia menekankan pentingnya mengkaji secara menyeluruh semua implikasi yang mungkin timbul, baik terhadap efektivitas pemerintahan maupun stabilitas politik nasional.
Sementara itu, di kalangan publik dan pengamat politik, muncul beragam reaksi. Ada yang mendukung pemisahan sebagai langkah rasional, tapi ada pula yang melihatnya sebagai potensi politisasi waktu pemilu yang bisa dimanfaatkan pihak tertentu untuk mempertahankan kekuasaan di berbagai level secara terpisah.
Putusan MK bersifat final dan mengikat. Namun, implementasi teknis dari pemisahan pemilu tetap bergantung pada revisi undang-undang dan penyesuaian kebijakan oleh DPR dan pemerintah. Untuk itu, publik saat ini menanti bagaimana DPR akan bersikap terhadap hal ini, apakah akan mempercepat revisi UU Pemilu atau mengambil jalan kompromi yang lain.
Dalam konteks ini, peran Puan Maharani sebagai Ketua DPR menjadi sentral. Ia diharapkan bisa menjadi penghubung antara kepentingan politik praktis partai-partai di Senayan dengan harapan masyarakat terhadap demokrasi yang efisien dan adil.
“Kita harus menjaga agar proses demokrasi tetap berjalan sesuai harapan rakyat, bukan justru membingungkan atau membebani mereka dengan terlalu banyak agenda politik dalam waktu berdekatan,” ujar seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia.
Salah satu isu penting yang muncul dari pemisahan jadwal pemilu adalah bagaimana hal itu akan mempengaruhi peta kekuasaan politik nasional dan daerah. Selama ini, penyelenggaraan serentak membuat efek pemilu presiden bisa berpengaruh besar terhadap pemilu legislatif dan kepala daerah. Namun dengan pemisahan, dinamika ini bisa berubah drastis.
Pemilu lokal yang digelar terpisah bisa memberikan ruang lebih luas bagi partai-partai kecil dan tokoh-tokoh lokal untuk tampil tanpa harus berada di bawah bayang-bayang pemilu presiden. Namun di sisi lain, fragmentasi waktu pemilu bisa menyebabkan proses politik yang berkepanjangan dan mengganggu fokus pemerintah dalam bekerja.
Dalam hal ini, sikap DPR terhadap putusan MK akan menjadi indikator penting apakah Indonesia akan melanjutkan tren pemilu serentak atau membuka jalan menuju sistem baru yang lebih terpisah dan kompleks.
Puan Maharani dalam responsnya terhadap putusan MK tampak berhati-hati. Ia tidak langsung menolak atau menerima, tetapi memilih jalur kolektif melalui rapat antarpartai dan koordinasi lintas fraksi. Hal ini mencerminkan pendekatan politik yang mengedepankan konsensus dan keterlibatan semua pihak sebelum mengambil keputusan besar.
Dengan membawa seluruh partai ke meja diskusi, Puan berusaha menjaga legitimasi politik DPR dan stabilitas sistem demokrasi Indonesia di tengah perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemilu.
Jika koordinasi ini berhasil, bukan tidak mungkin DPR akan menjadi ruang kompromi yang mampu menavigasi tantangan teknis dan politis dari pemisahan pemilu. Namun jika gagal, Indonesia bisa menghadapi kebingungan konstitusional dan beban politik baru dalam waktu dekat.