Rupiah menguat usai klaim gencatan senjata Trump

Klaim gencatan senjata ala Trump bikin pasar senang, rupiah melompat, dan logika ekonomi goyah.

Rupiah menguat usai klaim gencatan senjata Trump. © Aman Rochman/Getty Images
Pergerakan nilai tukar dolar AS terhadap Rupiah. © Aman Rochman/Getty Images

Ada dua hal yang bisa mengguncang pasar dunia dalam waktu kurang dari satu menit: ledakan nuklir atau status media sosial Donald Trump. Dan kali ini, pasar memilih opsi yang lebih ramah lingkungan—Trump membuka aplikasi Truth Social miliknya, mengklaim bahwa Israel dan Iran akan segera berdamai, dan abrakadabra—rupiah menguat, investor bertepuk tangan, dan Bank Indonesia kembali bisa menghela napas sejenak.

Memang, rupiah menguat usai klaim gencatan senjata Trump Iran-Israel. Tapi, seperti biasa, tidak ada rincian, tidak ada dokumen, tidak ada pernyataan bersama dari Teheran atau Tel Aviv—hanya Trump, jari telunjuk, dan koneksi Wi-Fi yang stabil. Rupiah pun, entah karena terlalu capek jatuh atau terlalu percaya, langsung melompat dari posisi Rp 16.484 ke kisaran Rp 16.365 per dolar AS.

Bank Indonesia menyambut kenaikan ini dengan segenap instrumen kebijakan, mulai dari intervensi spot, DNDF, sampai membeli SBN dengan gaya elegan seperti juru selamat pasar uang yang baru bangun tidur.

Pasar keuangan memang seperti anak-anak: gampang senang, cepat marah, dan mudah terpengaruh oleh selebritas dunia. Dan Trump adalah selebritas sejati. Ia tak butuh Nobel Perdamaian untuk membuat dunia percaya bahwa nuklir Iran dan drone Israel bisa istirahat sejenak. Ia hanya butuh ponsel dan kepercayaan diri sebesar benua.

Seperti yang dikatakan BI, penguatan rupiah hari ini bukan karena fondasi ekonomi yang tiba-tiba membaik, melainkan karena persepsi bahwa “eh, kayaknya aman nih, Trump bilang damai”. Dengan kata lain, stabilitas hari ini didasarkan pada harapan, bukan kenyataan. Dan harapan itu bisa runtuh lebih cepat dari sinyal 5G di ruang bawah tanah.

Sebelum Trump muncul dengan jurus “damai di ujung jempol”, para investor sempat panik. Emas laris manis, dolar AS menguat, dan obligasi pemerintah AS jadi rebutan, seolah-olah semua orang di dunia baru saja membaca novel dystopia karya George Orwell.

Indeks DXY naik 0,37 persen dalam seminggu. Bahkan rupiah pun sempat terpental ke langit-langit Rp 16.484, membuat warga negara Indonesia kembali meraba harga cabai dan menghela napas saat melihat ongkos liburan ke Singapura.

Namun, semua itu berubah saat bangsa Amerika menyerahkan naskah perdamaian dunia kepada mantan bintang The Apprentice. Trump menulis, “Iran dan Israel damai kok,” dan pasar langsung percaya.

BI, yang biasanya lebih pendiam daripada mantan pacar yang masih menyimpan kenangan, kali ini langsung buka suara. Mereka bilang siap intervensi di segala lini. Spot? Siap. DNDF? Jalan. SBN? Gas.

Tapi mari jujur: sekuat apapun BI menjaga nilai tukar, selama konflik di Timur Tengah seperti sinetron tak habis-habis, dan keputusan kebijakan global digantungkan pada status media sosial seorang presiden, maka semua upaya itu seperti mengepel lantai sambil kebanjiran. Hasilnya, ya... basah juga.

BI berharap gencatan senjata benar-benar terjadi, bukan hanya permainan narasi geopolitik. Tapi harapan itu, seperti harga BBM, sering naik-turun tergantung siapa yang bicara dan seberapa viral pernyataan itu.

Beralih ke Washington, The Fed mulai goyah. Michelle Bowman, sang hawkish queen yang biasanya suka menaikkan suku bunga seperti menaikkan standar pacar, tiba-tiba bilang: “kayaknya kita harus turunin suku bunga, deh.”

Dunia kontan bersorak. Kurs dolar AS melemah, rupiah naik, dan pasar Asia kembali hidup seperti sinetron Ramadan. Tapi jangan salah, sinyal dari The Fed ini bisa berubah lebih cepat dari janji kampanye.

Pasar kini memperkirakan ada dua, bahkan tiga, pemangkasan suku bunga tahun ini. Dan semua ini terjadi karena Iran tampaknya belum menembakkan rudal lagi... atau mungkin karena Trump baru bangun tidur dan belum posting yang aneh-aneh.

Rupiah menguat usai klaim gencatan senjata Trump Iran-Israel. Tapi itu lebih mirip naik karena euforia, bukan fundamental. Bahkan, ekonom UOB juga bilang: “Lihat dulu, The Fed turun suku bunga nggak? Kalau iya, baru deh rupiah bisa senyum lebih lama.”

Sementara itu, warga negara Indonesia harus tetap membayar cicilan motor, menebus minyak goreng mahal, dan menghindari keripik kentang yang sekarang terasa lebih mewah dari sekotak brownies. Nilai tukar boleh naik, tapi harga hidup tetap saja naik lebih cepat.

Jadi, apa yang bisa kita pelajari?

Pertama, bahwa ekonomi global sekarang lebih mudah digerakkan oleh media sosial daripada oleh data statistik. Kedua, rupiah kita ternyata sangat sensitif terhadap sinyal, terutama jika sinyal itu berasal dari ponsel milik Donald Trump.

Ketiga, Bank Indonesia adalah satu-satunya pihak yang serius di dunia penuh dagelan geopolitik. Mereka menahan suku bunga, membeli SBN, dan terus berjaga seolah-olah krisis bisa datang kapan saja, bahkan dari notifikasi push news.

Dan terakhir, jangan pernah remehkan kekuatan sebuah klaim. Apalagi kalau klaim itu viral, dibuat oleh presiden negara adidaya, dan cukup meyakinkan untuk membuat pasar lupa bahwa rudal belum benar-benar berhenti terbang.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar