Pekerja digital dalam revisi UU Ketenagakerjaan

Serikat pekerja desak DPR akomodasi gig workers dalam RUU Ketenagakerjaan.

Pekerja digital dalam revisi UU Ketenagakerjaan. © Muhammad Ramdan/Antara
Sejumlah massa dari Koalisi Ojol Nasional (KON) menggelar unjuk rasa di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, pada Kamis (29/8/2024). © Muhammad Ramdan/Antara

Dewan Perwakilan Rakyat tengah menyusun draf akademis untuk Rancangan Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Proses legislasi ini berlangsung di tengah berbagai tantangan zaman, terutama transformasi ekonomi digital yang terus berkembang. Salah satu isu paling krusial yang harus segera direspons adalah perlindungan pekerja digital atau gig workers, yang hingga kini masih berada dalam wilayah abu-abu hukum ketenagakerjaan Indonesia.

Saat ini, lebih dari 100 federasi dan konfederasi serikat buruh yang tergabung dalam Forum Urun Rembuk telah menyusun draf RUU Ketenagakerjaan versi mereka. Draf ini menjadi alternatif penting yang menuntut perubahan mendasar, khususnya dalam definisi pekerja, sistem kerja kontrak, alih daya, serta pengakuan atas hak-hak pekerja digital yang belum mendapat jaminan perlindungan hukum yang layak.

Dalam dunia kerja modern, terutama di platform digital seperti ojek daring, kurir instan, dan layanan pengantar makanan, ribuan orang bekerja setiap hari tanpa ikatan kerja yang formal. Mereka disebut “mitra,” bukan pekerja, meskipun mereka menerima instruksi, target, hingga penalti dari perusahaan platform. Realitas ini menciptakan ketimpangan hak yang nyata.

Forum Urun Rembuk mendorong perubahan definisi pekerja dalam RUU Ketenagakerjaan, agar tidak semata-mata bergantung pada istilah “upah” sebagai indikator hubungan kerja. Mereka mengusulkan definisi pekerja sebagai siapa pun yang bekerja dan menerima penghasilan—tak terbatas dalam bentuk upah atau imbalan resmi. Dengan begitu, pekerja digital bisa masuk dalam perlindungan ketenagakerjaan secara hukum.

Pendekatan yang digunakan dalam RUU Ketenagakerjaan versi buruh bertujuan bukan hanya untuk kembali ke ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003, tetapi menciptakan tata hukum ketenagakerjaan baru yang adil dan inklusif. Terlebih, Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan bahwa pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang menyangkut ketenagakerjaan perlu direvisi dan disusun ulang secara konstitusional.

Anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani, menyatakan bahwa DPR membuka ruang seluas-luasnya bagi masukan dari serikat pekerja. Namun, ia juga menegaskan bahwa penyusunan draf tetap akan menjadi kewenangan panitia kerja dan tim ahli DPR. Pernyataan ini menuai perhatian karena bisa meminggirkan draf alternatif dari pekerja yang justru berisi aspirasi nyata dari lapangan.

Dalam situasi seperti ini, menjadi penting untuk memastikan bahwa aspirasi perlindungan pekerja digital tidak dikerdilkan. DPR memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk tidak mengulang kesalahan masa lalu. Pasal-pasal yang sebelumnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi tidak boleh dimasukkan kembali dengan redaksi baru yang hanya memoles wajah ketidakadilan.

Draf RUU Ketenagakerjaan versi Forum Urun Rembuk juga memuat usulan pembentukan komite pengawas ketenagakerjaan sebagai badan independen. Komite ini penting untuk memastikan hak-hak pekerja, terutama pekerja nonformal dan pekerja digital, diawasi dan ditegakkan secara adil dan berkelanjutan.

Serikat pekerja harus betul-betul mengawal proses penyusunan RUU ini. Pentingnya dinamika gig economy harus dituangkan dalam pasal-pasal RUU Ketenagakerjaan. Tidak masuk akal jika undang-undang baru nanti tetap mengabaikan kelompok pekerja yang justru tumbuh paling cepat dalam satu dekade terakhir.

Indonesia sudah menyaksikan bagaimana platform digital menyerap jutaan pekerja baru, namun tanpa jaminan sosial, tanpa kepastian upah minimum, dan tanpa perlindungan hukum dari pemutusan hubungan kerja sepihak. Ini adalah bentuk ketimpangan struktural yang terjadi dalam bayang-bayang inovasi teknologi, dan negara tidak boleh hanya menjadi penonton.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi telah memberikan waktu dua tahun kepada DPR dan Presiden untuk menyusun UU Ketenagakerjaan baru yang memuat materi dari UU No 13 Tahun 2003, UU No 6 Tahun 2023, serta sejumlah putusan MK. Ini kesempatan penting untuk menata kembali arsitektur hukum ketenagakerjaan secara menyeluruh, termasuk menjamin hak-hak pekerja platform digital.

Forum Urun Rembuk bukan hanya kumpulan federasi buruh. Ia adalah simbol kekuatan kolektif buruh Indonesia yang menyadari bahwa zaman telah berubah, dan hukum pun harus ikut berubah. Forum ini menyusun draf alternatif bukan untuk bersaing dengan DPR, tetapi untuk mengingatkan bahwa suara pekerja tidak boleh diabaikan dalam pembentukan hukum yang menyangkut hidup mereka.

Soliditas serikat pekerja/serikat buruh sangat penting dalam mengawal revisi UU Ketenagakerjaan. Semakin banyak serikat pekerja yang tergabung dalam forum ini agar kekuatan politik buruh makin nyata dan bisa menjadi penentu dalam proses legislasi.

Sebab, tanpa pengawasan dari masyarakat sipil, terutama organisasi buruh, sangat mungkin revisi UU Ketenagakerjaan justru kembali dikendalikan oleh kepentingan modal. Kita telah melihat bagaimana UU Cipta Kerja menyisakan banyak luka di kalangan pekerja. Ini saatnya memperbaiki semua itu, dan memastikan bahwa perlindungan pekerja digital masuk ke jantung undang-undang.

RUU Ketenagakerjaan yang baru harus merefleksikan zaman. Tidak bisa lagi hanya fokus pada model hubungan kerja klasik antara buruh dan pabrik. Kita sudah berada di era ketika orang bekerja dari rumah, dari motor, dari ponsel mereka, dan bahkan dari ruang digital yang tak mengenal batas geografis.

Negara harus mengatur ini secara cermat, tidak represif, tetapi menjamin hak-hak dasar pekerja tetap dihormati. Status “mitra” dalam kontrak platform tidak boleh jadi alasan untuk menghapus hak atas jaminan sosial, cuti, kompensasi, dan pengawasan ketenagakerjaan.

Jika draf versi Forum Urun Rembuk bisa mengisi kekosongan perlindungan ini, maka DPR perlu memperhatikannya secara serius. Regulasi yang progresif adalah yang mampu melindungi yang paling rentan, bukan hanya yang paling kuat.

Perlindungan pekerja digital tidak boleh menjadi jargon politis yang hilang saat pembahasan pasal demi pasal di parlemen. Pemerintah dan DPR harus berhenti menjadikan pekerja sebagai obyek pembangunan, lalu melupakan hak-haknya saat ekonomi berkembang. Pekerja digital adalah bagian dari tulang punggung ekonomi baru, dan mereka berhak atas pengakuan dan perlindungan hukum.

Jika revisi UU Ketenagakerjaan gagal mengakomodasi mereka, maka revisi ini tidak lebih dari sekadar kosmetik hukum—simbol politik tanpa isi. Kita memerlukan reformasi ketenagakerjaan yang menjawab tantangan masa kini, bukan sekadar mengulang kesalahan masa lalu dengan kemasan baru.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar