![]() |
Prabowo dan Putin. © Kontributor/Getty Images |
Saint Petersburg dingin, diplomasi Indonesia pun mulai menghangat. Di tengah forum elit dunia, Presiden Prabowo tampil bak pahlawan damai. Bukan dengan pedang, tapi dengan kata-kata manis dan kutipan Nelson Mandela. Di SPIEF 2025, Prabowo menyuarakan bahwa "kekuatan besar adalah kolaborasi dan hidup bersama secara damai." Kalimat ini indah, sangat Instagrammable, bahkan cocok jadi tagline produk minuman teh kemasan.
Tapi mari kita bicara serius meski sedang bercanda. Apakah Prabowo dan prinsip nonblok ini masih relevan di tengah dunia yang hobi main sanksi dan rudal? Atau kita sedang menonton drama geopolitik edisi "Indonesia ingin jadi bijak bestie semua pihak"?
Prabowo menyebut bahwa dunia makin kecil dan tak bisa terus konfrontasi. Ini benar. Dunia memang makin kecil, tapi ego negara-negara besar malah makin gemoy. Dan di tengah kegemoyan itulah Indonesia masuk membawa secangkir teh diplomasi.
Indonesia, menurut Prabowo, tetap teguh memegang prinsip nonblok. Tidak ke Barat, tidak ke Timur. Netral. Persis seperti WiFi publik: terlihat di mana-mana, koneksinya nggak ke mana-mana.
Tapi kita perlu jujur. Prinsip nonblok ini semakin terdengar seperti akun resmi yang aktif retweet tapi jarang posting konten orisinil. Kita bicara damai, tapi beli jet tempur. Kita dorong dialog, tapi selfie bareng pemilik veto PBB.
Di SPIEF, Prabowo menyebut Rusia bisa berperan besar dalam meredam konflik Iran-Israel. Menarik. Karena meminta Rusia menenangkan konflik di Timur Tengah ibarat minta tukang las jadi konsultan aromaterapi. Bukan tak mungkin, tapi agak sulit dicerna, ya? Karena Rusia sendiri sedang berperang dengan Ukraina.
Nelson Mandela kembali disebut sebagai inspirasi politik Prabowo. Sejak keluar dari penjara, Mandela mengulurkan tangan pada musuh-musuh lamanya. Hebat. Tapi jangan lupa, Mandela dulu dipenjara. Prabowo justru ikut pemilu dan akhirnya jadi presiden.
Tentu, semangat rekonsiliasi itu patut diapresiasi. Tapi membandingkan Mandela yang melawan apartheid dengan Prabowo yang datang ke SPIEF lalu mengusulkan gencatan senjata di Ukraina terasa seperti menyamakan nasi goreng kantin dengan nasi goreng wagyu: bentuknya mirip, rasanya beda.
Lalu soal Semenanjung Korea sebagai contoh damai. Ini agak lucu, karena damai ala Korea Utara dan Korea Selatan itu seperti mantan pasangan yang masih tinggal serumah tapi tidak saling sapa. Ada gencatan senjata, iya. Tapi suasananya tetap tegang dan penuh CCTV.
Forum SPIEF 2025 yang megah itu diisi para elite dunia dan ekonom bergaji dolar. Indonesia datang, duduk, bicara damai. Lalu pulang. Persis seperti tamu kondangan yang hanya numpang pidato, tidak ikut bantu bersih-bersih.
Prabowo mengatakan Indonesia akan terus mendorong diplomasi dan menjaga perdamaian global. Bagus. Tapi mengusulkan gencatan senjata di Ukraina dua tahun lalu dan kini masih mengusulkan yang sama berarti satu dari dua hal: (1) usulnya tidak dianggap, atau (2) semua orang anggap kita lagi ngelawak.
Kita perlu tahu, dunia tidak sedang menunggu ceramah damai. Dunia sedang rebutan pasar, teknologi, energi, dan pengaruh. Bicara netral di forum yang disponsori oligarki minyak dan industri senjata mungkin terdengar bijak, tapi sejatinya hanya menambah noise di tengah kebisingan.
Prinsip nonblok lahir di tengah Perang Dingin. Hari ini, kita hidup di dunia yang tidak hanya panas, tapi juga licik. Negara-negara sudah tidak cukup hanya memiliki blok. Mereka punya klub eksklusif, sub-grup WhatsApp, dan aliansi dagang terselubung.
Dan di tengah itu, Indonesia ingin jadi penghubung. Seperti stopkontak universal: bisa dipakai semua, tapi cepat rusak kalau dipakai terus tanpa daya dukung.
Rusia memuji posisi Indonesia yang katanya mirip dengan posisi mereka. Ini seperti dua orang di jalan tol yang melanggar marka, lalu saling tepuk tangan karena sama-sama 'bebas'. Jangan-jangan, kita merasa netral padahal sebenarnya hanya belum diajak berpihak?
Setelah pidato panjang dan momen saling puji, Prabowo pulang dengan penuh kebanggaan. Diiringi lagu kebangsaan, pasukan kehormatan, dan kamera yang merekam setiap langkahnya menuju tangga pesawat.
Namun, rakyat Indonesia di rumah hanya bisa bertanya: selain selfie bareng Putin, bawa oleh-oleh apa, Pak?
Karena sampai saat ini, kita belum tahu apakah pidato damai itu berdampak pada harga sembako, cicilan rumah, atau nasib petani. Atau jangan-jangan, pidato itu hanya berdampak pada jumlah like dan retweet di akun Kementerian Luar Negeri?
Kalau Prabowo dan prinsip nonblok benar-benar ingin jadi arah baru Indonesia, maka harus ada langkah konkret. Bukan sekadar retorika SPIEF, tapi konsistensi di dalam negeri.
Misalnya, kalau prinsip damai dijunjung tinggi, jangan lagi ada warga yang dipukul hanya karena kritik. Kalau netralitas didewakan, jangan peluk Rusia tapi pura-pura lupa kalau Ukraina juga punya hak untuk damai. Dan kalau Nelson Mandela jadi panutan, maka pemilu 2029 jangan diwarnai rekayasa atau intimidasi.
Indonesia bisa jadi agen perdamaian dunia, bukan karena pidatonya indah, tapi karena rekam jejaknya terbukti. Dunia sudah lelah dengan diplomasi kosmetik. Yang dibutuhkan bukan aktor, tapi negarawan.
Karena kalau diplomasi kita hanya tampil saat forum internasional, tapi tak berdampak apa-apa, maka kita bukan negara nonblok. Kita cuma negara nongol, lalu pulang.