![]() |
Menggigil. © MT Studio/Getty Images |
Kalau kamu bangun pagi dan harga gorengan naik, jangan langsung salahkan tukang gorengan. Bisa jadi, penyebabnya adalah perang Iran-Israel yang (lagi-lagi) melibatkan Amerika Serikat, si polisi dunia yang doyan adu jotos pakai rudal mahal. Minggu kemarin, AS resmi mengobral rudal ke tiga fasilitas nuklir Iran. Dan seperti biasa, bukan damai yang datang, tapi keributan yang makin pecah.
Donald Trump (ya, dia lagi), yang sekarang kembali menjabat dan tampaknya sedang bernostalgia dengan tombol merah, menyebut operasi ini “sangat sukses.” Entah sukses bikin apa, tapi yang jelas sukses bikin pasar keuangan global panik, harga minyak melonjak, dan analis ekonomi dunia langsung kejang-kejang di depan layar Bloomberg.
Perang Iran-Israel bukan sekadar ribut-ribut dua negara bertetangga yang tidak pernah cocok sejak zaman dinosaurus. Ini perang dengan potensi multiplayer mode: bisa melibatkan Rusia, China, dan seluruh kontingen NATO. Kita sedang duduk di tepi kasur yang goyang, dan bisa jadi besok kita semua terjerembap ke jurang resesi global.
Iran jelas tidak terima wilayahnya dibombardir. Balas dendam? Tentu. Iran mengirim 30 rudal ke Israel dalam dua gelombang. Seolah satu saja kurang dramatis. Dan kita semua tahu, kalau Israel dan Iran sudah saling lempar roket, itu kayak menyalakan korek di pom bensin—kita tinggal tunggu ledakan yang lebih besar.
Satu ledakan di Timur Tengah, satu rupiah menguap di dompet kita. Kenapa? Karena pasokan minyak terganggu. Selat Hormuz—jalur 30 persen minyak dunia—bisa saja diblokir oleh Iran jika mereka ingin semua orang di dunia ikut ngos-ngosan.
Harga minyak pun diprediksi bisa menembus 130 dollar AS per barel. Bandingkan dengan asumsi harga dalam APBN kita yang cuman 82 dollar. Beda 48 dollar per barel itu bukan beda recehan, tapi potensi defisit fiskal sebesar Rp 330 triliun. Angka yang cukup untuk beli semua gorengan di warung selama 100 tahun (plus es teh).
Pemerintah Indonesia, yang sudah pusing dengan perlambatan ekonomi, kini dihadapkan dengan tagihan tambahan untuk subsidi energi. Mau tidak mau, opsi menambah utang jadi menu utama. Dan kamu tahu kan, siapa yang bayarin utang itu? Bukan Donald Trump. Bukan Elon Musk. Tapi kita semua yang kerja dari Senin sampai Sabtu dan masih dihujat bos tiap pagi.
Kamu tahu pasar saham itu sensitif? Mereka lebih sensitif dari pacar kamu yang suka drama. Begitu Israel menyerang Iran pada 12 Juni, indeks Dow Jones langsung meringkuk 2 persen, S&P 500 ikut lesu, dan investor panik pindah ke emas dan dolar. Emas naik, dolar naik, sementara harapan kita akan stabilitas ekonomi jatuh terjun bebas.
Harga minyak? Melonjak 10 persen hanya dalam beberapa hari. Itu belum termasuk gejolak pasar yang akan terjadi setelah serangan balasan Iran dan serangan lanjutan dari AS. Pasar dibuka Senin dengan rasa cemas, seperti mahasiswa nunggu nilai akhir semester.
Gubernur The Fed, Christopher Waller, pun sudah melempar kode: jangan harap penurunan suku bunga cepat terjadi. Tekanan inflasi membuat The Fed nahan napas lebih lama dari penyanyi opera. Dan itu artinya, dana asing akan hengkang dari negara berkembang, termasuk Indonesia, yang artinya rupiah bakal tumbang pelan tapi pasti.
Indonesia tidak ikut perang, tidak kirim rudal, tidak kirim pasukan. Tapi, seperti biasa, kita tetap dapat getahnya. Ekonomi domestik sedang lesu, indikator makroekonomi bikin dahi mengernyit, dan sektor riil sedang dirundung galau. Sekarang ditambah harga minyak yang membubung, utang yang membengkak, dan nilai tukar yang terus melemah.
Pemerintah harus siap dengan segala skenario terburuk. Tapi, yang kita lihat baru pernyataan: “Kami memantau situasi.” Semoga yang dimaksud bukan cuma memantau harga gorengan naik, ya. Yang dibutuhkan sekarang adalah langkah konkret, seperti memperkuat cadangan energi nasional, mengatur ulang anggaran, dan stop belanja barang-barang yang cuma bikin pencitraan.
Kalau tidak, bisa-bisa kita semua harus bersiap puasa BBM. Subsidi bisa saja dicabut, harga bahan pokok naik, dan rakyat kecil seperti biasa disuruh ngerti situasi global. Ironisnya, rakyat memang ngerti—tapi tetap harus bayar listrik dan beli beras.
Kalau perang ini berlangsung lama—dan semua tanda menunjuk ke arah sana—maka efek domino akan tak terhindarkan. Rantai pasok terganggu, ongkos produksi naik, ekspor seret, inflasi melonjak, dan daya beli masyarakat melorot. Itu baru efek langsung.
Efek tak langsungnya adalah ketidakpastian yang berkepanjangan, investor yang ogah menanam modal, dan pengangguran yang makin semarak. Kita sedang berjalan ke arah resesi global, tapi dengan gaya slow-motion—dan itu lebih menyakitkan daripada langsung jatuh.
Kalau sampai Iran memutus pasokan minyak dan dunia kehilangan 30 persen minyaknya, maka kita akan kembali ke era lilin, naik sepeda ke kantor, dan mandi dua hari sekali. Oke, mungkin lebay, tapi bukan tidak mungkin
Dalam situasi genting seperti ini, yang dibutuhkan adalah strategi jangka pendek dan jangka panjang. Pemerintah harus siapkan bantalan fiskal, stabilisasi harga energi, diversifikasi sumber energi, dan... yah, kalau bisa, kurangi dulu acara-acara seremonial dengan panggung megah dan anggaran miliaran.
Pemerintah juga perlu belajar dari negara lain. Jangan cuma bicara ketahanan ekonomi, tapi kosongkan dulu kantong yang bocor. Evaluasi kebijakan energi, perkuat cadangan strategis, dan, tolong, stop gonta-ganti pejabat ekonomi kayak ganti kemeja.
Perang Iran-Israel adalah bukti bahwa konflik di belahan dunia mana pun bisa menyeret kita semua ke dalam krisis. Entah kita suka politik atau tidak, entah kita paham ekonomi atau tidak—ujung-ujungnya, kita semua tetap harus bayar lebih mahal untuk makan, minum, dan hidup.
Jadi, kalau kamu lagi bengong di warung kopi sambil nonton berita soal rudal di Timur Tengah, ingat: itu bukan sekadar berita internasional. Itu adalah harga bensin yang naik, mie instan yang lebih mahal, dan tabungan yang makin tipis.
Selamat menikmati dunia yang makin absurd. Dan semoga kita semua bisa bertahan—setidaknya sampai harga minyak kembali normal.